Halaman

Rabu, 17 November 2010

Bunga Liarku

Bungaku, kemanakah dirimu?
Aku tak lagi mencium semerbak harummu.
Bungaku, masih kau mekar seperti sedia kala?
Kulihat kumbang-kumbang tak lagi hinggap di putikmu.
Bungaku, masih kau nantikankah hangatnya sinarku?
Mendung sebentar lagi 'kan pergi dari langit cakrawala kita.
Bungaku, masih abadikah dirimu?
Aku tak sabar menunggu musim itu tiba.
Bungaku, tahukah kau aku masih menantimu?
Diantara rumput liar ini aku menunundukkan wajahku,
Agar kau tak layu sebelum berkembang.
Aku pun harus berkelahi dengan serangga-serangga ini.
Mekarlah, hai bunga keabadianku,
buatlah taman hatiku beraroma harum,
agar ku tak lagi bersedih hati
menantimu seorang diri disini.
seorang diri....
seorang diri....
seorang diri....
sampai mati....
tetap kunanti.....

Senin, 15 November 2010

OPINIKU TENTANG FILM EAT, PRAY AND LOVE

                    
     Film Eat, Pray, Love mengangkat kisah perjalanan Elizabeth Gilbert, seorang perempuan Amerika yang berada di ambang depresi, mencari ketenangan spiritual dan keseimbangan dalam hidup di tiga negara: Italia, India dan Indonesia. Film ini dibuat berdasarkan buku memoir best seller berjudul sama, yang telah laku enam juta kopi di seluruh dunia.
     Elizabeth Gilbert (Julia Roberts) atau yang akrab dipanggil Liz, merindukan kehidupan yang seimbang. Karir sebagai penulis, memiliki rumah indah serta suami yang setia dan baik hati rupanya tak membuat hidupnya terasa 'cukup'. Ia merindukan sesuatu, yang bisa membuatnya kembali bergairah. 'Sesuatu' yang ia sendiri pun tak pernah tahu. Setelah bercerai dari suaminya, Stephen (Billy Crudup), Liz berpacaran dengan seorang aktor panggung bernama David (James Franco). Sayang, percintaannya lagi-lagi kandas di tengah jalan.Penulis itu pun mulai merancang sebuah perjalanan panjang. Tujuan utama Liz adalah Italia. Aksen Itali yang seksi ditambah makanan yang lezat membuatnya sangat terpesona. Dalam film 'Eat Pray Love', Italia diartikan sebagai Makanan (Eat). Berbagai macam makanan yang digambarkan dalam film itu memang terlihat menggiurkan, mulai dari pizza hingga pasta tersaji di sudut-sudut romantis Italia.
     Berikutnya adalah pemandangan kumuh di seputar India. Di tempat itu Liz ingin menemukan kekuatan doa (Pray) dari seorang Guru. Di India ia belajar dari seorang pria, Richard from Texas (Richard Jenkins) agar dapat melupakan masa lalunya. Keindahan Pulau Dewata menjadi tujuan Liz yang terakhir. Di Bali, ia ingin bertemu lagi dengan Ketut Liyer (Hadi Subiyanto), seorang dukun Bali yang sudah tua dan ompong. Sebelumnya, Ketut Liyer pernah meramal tentang kehidupannya.
     Di Indonesia pula, ia jatuh cinta pada duda Brazil bernama Felipe (Javier Bardem). Indonesia diartikan sebagai 'Love' dalam film besutan Ryan Murphy itu. Sutradara Ryan Murphy rupanya sengaja menyorot pemandangan indah Italia dan Indonesia. Dia ingin memanjakan mata para penonton dengan sudut-sudut indah yang dilalui sepanjang perjalanan Liz. Jangan heran jika setelah menonton film ini yang terkenang adalah lezatnya makanan Italia, potret pemandangan Bali yang indah, dan pelajaran hidup yang bisa diambil dari perjalanan hidup Liz. Sosok Liz yang modern mungkin terlihat sedikit egois dalam film ini.
     Namun bagi kaum hawa, mungkin mereka akan jatuh cinta pada sosok laki-laki yang pernah hadir dalam kehidupan Liz. Sebut saja Luca Argentero yang berperan sebagai Giovanni sang pengajar bahasa Itali, James Franco yang berperan sebagai David (pacar Liz) atau si seksi Javier Bardem yang sebelumnya bermain dalam 'Vicky Cristina Barcelona'.
     Ada satu hal yang menurut saya kurang di film ini. Musik latar yang mengisi  adegan dalam film ini terlebih pada saat Liz berada di Bali kurang pas tanpa adanya musik khas pulau Bali. Coba saja anda perhatikan film ini, pada saat liz berada di Italia dan India. Musik yang melatarbelakanginya merupakan musik khas dari daerah tempat cerita tersebut dimainkan. Andai saja sang sutradara memasukkan unsur musik tradisional Bali, tentunya akan menambah kesan spiritual dan magisnya pulau Bali yang sangat eksotik tersebut.
     Banyak hal yang dapat diambil sebagai pelajaran dalam film ini, salah satunya yaitu, sekuat apapun seseorang dalam mencari jatidiri, Tuhan dan Cinta, ia tidak akan dapat menemukannya selain dalam dirinya sendiri. Sejauh manapun mencari, tetap saja kita takkan menemukannya bila kita tidak mau bercermin dengan melihat jauh kedalam hati kita sendiri. Apa yang sebetulnya kita butuhkan dalam hidup ini? Bukankah semua yang kita cari ada dalam diri kita sendiri!
     Sang guru spiritual pun berkata: "Janganlah melihat setiap masalah melalui mata lahiriah saja, tapi lihatlah melalui mata batiniahmu dan jangan pula kau cari Tuhan dengan mengelilingi dunia ini sebab Ia takkan kau temui selain didalam dirimu sendiri" Semoga saja melalui film ini dapat menarik antusias para wisatawan mancanegara untuk mengunjungi wisata spiritual yang tersebar di seluruh tanah air tercinta ini.

Sabtu, 13 November 2010

Lubang Hitam: Analisis Di Balik Angka 9

Lubang Hitam: Analisis Di Balik Angka 9: " Asmaul Husna ada 99.. 9 adalah sebuah rahasia Allah. sebuah angka yang luar biasa rahasianya. penuh makna. percaya atau tidak, Gus Du..."

Analisis Di Balik Angka 9


     Asmaul Husna ada 99.. 9 adalah sebuah rahasia Allah. sebuah angka yang luar biasa rahasianya. penuh makna. percaya atau tidak, Gus Dur wafat pada jam 18 menit 45, tanggal 30 bulan 12 tahun 09. Coba anda perhatikan semua angka tersebut jika dikalikan dengan angka itu sendiri jumlahnya 9.
18X18=324(3+2+4=9).
45X45=2025(2+0+2+5=9).
30X30=900(9+0+0=9).
12X12=144(1+4+4=9).
09X09=81(8+1=9). 
kalau semuanya dikalikan, jumlahnya tetap 9
(18X45X30X12X09=2624400= 2+6+2+4+4+0+0=18(1+8=9).
     Secara Matematika angka sembilan merupakan angka Palindrom (simetris). Coba saja perhatikan perkalian di bawah ini.
12345679 x 9 = 111.111.111
12345679 x 81 = 999.999.999

1 x 9 + 2 = 11

12 x 9 + 3 = 111

123 x 9 + 4 = 1111

1234 x 9 + 5 = 11111

12345 x 9 + 6 = 111111

123456 x 9 + 7 = 1111111

1234567 x 9 + 8 = 11111111

12345678 x 9 + 9 = 111111111
     Bilangan sembarang jika dikalikan 9, kemudian angka-angka hasilnya dijumlahkan, maka hasilnya = 9. Mari kita buktikan.
1 x 9 = 9
2 x 9 = 18, jumlah 1 + 8 = 9
3 x 9 = 27, jumlah 2 + 7 = 9
4 x 9 = 36, jumlah 3 + 6 = 9
5 x 9 = 45, jumlah 4 + 5 = 9
6 x 9 = 54, jumlah 5 + 4 = 9
7 x 9 = 63, jumlah 6 + 3 = 9
8 x 9 = 72, jumlah 7 + 2 = 9
9 x 9 = 81, jumlah 8 + 1 = 9
10 x 9 = 90, jumlah 9 + 0 = 9, dst., sampai tak terhingga.


22 x 9 = 198, cara cepatnya 2 x 9 = 18, lalu selipkan angka 9 ditengah, jadi 198.
33 x 9 = 297
44 x 9 = 396
55 x 9 = 495
66 x 9 = 594
77 x 9 = 693
88 x 9 = 792
99 x 9 = 891


Jika angka kembar 3 digit, maka tinggal selipkan 99 ditengahnya. Kita buktikan ya!
222 x 9 = 1998, cara cepat 2 x 9 = 18, selipkan 99 ditengah
333 x 9 = 2997
444 x 9 = 3996
555 x 9 = 4995

Unik bukan ?      

      Ada apa dengan jam 18.45? Lihat Alqur'an pada surat ke 18 ayat 45. "Di ibaratkan air hujan yang turun dari langit dan memberi kesejukan atau perdamaian di bumi.
Gus Dur meninggal saat umur 69, dalam budaya China angka 69 ibarat lambang yg disebut YIN YANG, yg artinya keseimbangan dan kesempurnaan. dan Gus Dur lah yang mengangkat budaya China di Indonesia.. Subhanalloh.. apa ini sebuah kebetulan? atau ada rencana Alloh SWT? Wallohu A'lam...



Keajaiban dan Kesakralan Angka Sembilan
Keajaiban:
Bukti keajaiban angka 9 secara matematis dan objektif didemonstrasikan oleh dua orang, sebutkan si A dan si B
1. Langkah si A:
Menulis deretan angka ( 1 – 9) sebanyak 5 angka secara acak. Misalnya:
63742
Kemudian di bawah tiap-tiap angka itu ditulis titik, berurutan ke bawah sebanyak 4 baris, sehingga menjadi sebagai berikut:
63742
. . . . .
. . . . .
. . . . .
. . . . .
Di baris titik paling bawah diberi tanda jumlah dengan total penjumlahan:
63742
. . . . .
. . . . .
. . . . .
. . . . .
———
26374
Setelah itu mengganti titik-titik di baris ke 2 dan ke 4 dengan angka acak misalnya:
63742
58966
. . . . .
37428
. . . . .
———
263740
2. Langkah si B:
Mengganti titik-titik di baris ke 3 dan 5 dengan angka yang diperoleh dari pengurangan 9 dengan angka yang ada di atasnya, sehingga nampak sebagai berikut:
63742
58966
41033
37428
62571
———
263740
Keajaiban yang terbukti:
Jumlah angka 263740 sudah diketahui sebelum ada angka di baris lainnya, dengan asumsi:
  1. Jumlah 263740 adalah pergeseran angka 2 dan 0 dari deretan angka semula: 63742, dimana angka 2 dipindahkan dari belakang ke depan, dan angka 0 adalah akibat angka 2 dari deretan 63742 dikurangi 2 dari deretan angka 263740
  2. Semua angka bervariasi dari 1 s/d 9
Bila ingin mencoba dengan susunan angka lain, silahkan asal menggunakan cara dan asumsi seperti di atas.
Pembuktian keajaiban angka 9 dengan cara lain dapat juga dicoba sendiri tanpa teman:
Tulislah bentuk penjumlahan angka seperti contoh di bawah ini:
9 + 3 = 12 di mana 1 + 2 = 3 (angka 3 kembali pada angka penjumlah)
Contoh lain:
9 + 7 = 16 di mana 1 + 6 = 7 (angka 7 kembali pada angka penjumlah)
9 + 9 = 18 di mana 1 + 8 = 9 (angka 9 kembali pada angka penjumlah)
Asumsi: dalam penjumlahan menggunakan angka 1 – 9
Kesakralan:
Kesakralan angka 9 dalam keyakinan Agama Hindu di Bali:
Pada perhitungan matematis tersebut, terkandung makna yang sakral dari angka 9 sebagai berikut: Angka 9 adalah angka tertinggi yang selalu mengembalikan diri kepada asalnya, seperti terlihat pada butir 2 (langkah si B) di atas dan contoh pembuktian keajaiban yang kedua di atas.
Kemampuan untuk mengembalikan diri ke asal-Nya, dalam keyakinan Hindu di Bali, dikenal sebagai Trikona, yakni Utpatti, Sthiti, dan Pralina, yakni perputaran dari kelahiran, kehidupan dan kematian yang berlangsung terus di alam semesta atau Bhuwana Agung sebagai kehendak-Nya dalam wujud Sada-Siwa.
Dalam keyakinan Agama Hindu di Bali Sanghyang Widhi berkedudukan pula di sembilan arah mata angin, dikenal sebagai Dewata Nawa Sanggha, yakni:
  1. Timur (Purwa): Dewa Ishwara
  2. Tenggara (Agneya): Dewa Mahesora
  3. Selatan (Daksina): Dewa Brahma
  4. Barat-daya (Nairity): Dewa Rudra
  5. Barat (Pascima): Dewa Mahadewa
  6. Barat laut (Wayabya): Dewa Sangkara
  7. Utara (Uttara): Dewa Wisnu
  8. Timur Laut (Airsaniya): Dewa Sambhu
  9. Tengah (Madya): Dewa Tripurusha
Kesakralan lain: jumlah butiran ganitri dan jumlah helai daun bila yang digunakan pada brata Siwaratri 108. Angka 108 intinya 9 karena 1 + 0 + 8 = 9 sedangkan ½ x 108 = 54 di mana 5 + 4 = 9; demikian juga ½ x 54 = 27 di mana 2 + 7 = 9
Jumlah lubang dalam tubuh manusia 9 yakni: telinga (2), mata (2), hidung (2), mulut (1), kelamin (1), dubur (1)
Penutup tahun menurut perhitungan kalender Saka-Bali, jatuh pada hari bulan mati ke-9 (tilem kesanga), sedangkan tahun baru Saka-Bali jatuh pada penanggal ping pisan sasih ke-Dasa (tanggal 1 bulan kesepuluh), karena angka 10 di perhitungan kalender Saka-Bali = 0

menurut primbon angka Numerologi :
  • Angka 9; Melambangkan sifat Uranus, penyayang, perhatian, pandai bergaul.
  • Kelompok Talenta Seni : 3,6,9

    Angka sembilan, Mungkin angka sembilan untuk banyak orang adalah angka yang paling memiliki aurora keberuntungan yang terbesar. Angka ini yang dipercaya akan selalau membawa keberuntungan bagi para pemiliknya. Untuk bangsa Cina, angka sembilan ini disebut pembawa hokki karena logikanya menurut mereka, angka tersebut merupakan angka terbesar sebelum Nol sebagai angka yang nihil. Sama seperti angka tiga belas, angka sembilan pun dapat berada pada berbagai macam benda yang dipercaya akan membawa keberuntungan bagi pemiliknya.
    Angka Ganjil, Dalam mitos kehidupan bangsa dimanapun angka ganjil lebih banyak bermakna dibanding angka genap. Angka ganjil dipercaya membawa keberuntungan dan sekali lagi ini dapat dibuktikan dari sekian banyak kepercayaan baik itu yang beragama Islam, Kristen, Hindu, Budha, atau Khong Khu Chu hampir semua agama memiliki hitungan favorit adalah angka ganjil. Untuk orang bangsa Cina hampir dapat di pastikan memiliki angka ganjil pada benda-benda yang dimiliki contohnya seperti nomor plat kendaraannya, nomor toko, nama restoran dan lain sebagainya.
     Sumber Tulisan:  Dari berbagai sumber.

Rabu, 03 November 2010

Lereng Senja Kaum Urban


         Rintik hujan perlahan-lahan mulai turun menyambutku, tatkala aku tiba digerbang masuk sebuah desa kecil nan asri. Sebuah desa yang terletak diantara lereng-lereng pegunungan yang tampak gagah bagai seorang prajurit keraton yang sedang menjaga istana megah tempat sang raja bersemayam. Angin pun semilir berhembus menerpa wajahku. “ah, sudah lam sekali aku tak merasakan sejuknya suasana ini.” Gumamku.
                Setelah letih berjalan akhirnya sampai juga aku dirumah ini, tempat yang selalu mengingatkan diriku akan masa kecil dulu. Hampir tidak ada perubahan yang berarti, semua masih seperti dulu. Bangku tua tempat aku dulu bermanja ria dengan kakekku masih kokoh bertahan seiring waktu yang kian berlalu. Mataku menatap liar ke sekeliling rumah yang mungkin usianya sudah ratusan tahun menemani keluarga kakekku mengarungi kehidupan. Kuketuk pintu tua yang terbuat dari kayu jati berwarna coklat kehitam-hitaman itu dengan sangat hati-hati. Suara lembut seorang wanita tua menyambutku, suara yang sangat kurindukan yang dulu selalu menghantarkan kutidur dengan cerita-cerita tentang kebajikan.
“siapa?” seru suara wanita tua itu dari dalam rumah. Aku hanya diam tak menjawab, pasti nenek akan kaget melihatku berdiri dibalik pintu tua ini, setelah 5 tahun yang lalu aku pergi meninggalkannya. Suara pintu tua itu berderit mendistorsi lamunanku.
 “aku nek” jawabku. Perlahan pintu pun mulai terbuka.
“yaa ampun, kamu toh le, kemana saja kamu tiada kabar berita? Bahkan pulang juga ndak beritahu nenek sebelumnya.”
“iya nek, maafkan aku, aku ndak bermaksud membuat nenek sedih.” Air mataku jatuh berlinang bak tetes air hujan yang tiada henti membasahi pipi. Kupeluk erat-erat tubuh wanita tua dihadapanku ini bagai seorang kekasih yang tak berjumpa sekian tahun lamanya. Aku menangis menjadi-jadi bagai lahar gunung baru saja dimuntahkan dari dalam perut bumi. Tak lama kemudian nenek menyuruhku masuk.
                Sejak kematian kakekku 10 tahun yang silam, aku mengambil keputusan yang membuat nenek sangat sedih, aku harus meninggalkan desa ini, pergi dari tempat yang telah membesarkanku. Walau sangat berat rasanya bagiku meninggalkan nenek seorang diri, tetapi demi kebaikannya juga, akhirnya aku harus pergi ke kota besar dimana terdapat segala macam impian yang selalu disenadungkan oleh teman-temanku yang telah kembali dari kota. Penampilan mereka seolah-olah menunjukkan padaku, bahwa hidup di kota besar begitu menggoda jiwa mudaku.
                Mereka menceritakan padaku berbagai macam hal, tentang gedung-gedung tinggi pencakar langit yang apabila kita naik ke puncaknya, seolah-olah kita dapat meraih bintang yang terhampar diatas sana, juga tentang mobil-mobil mewah yang tak pernah berhenti berjalan baik siang maupun malam, bagaikan sebuah pertunjukkan opera yang hanya dapat dinikmati oleh segelintir orang. Semua itu menjadikan aku bagaikan tesihir oleh pesona kemewahan kota, mereka terus meyakinkan aku untuk mengikuti jejak mereka dan mereka pun selalu menjanjikan kesuksesan kepadaku.
“bila kau tak mencoba, maka kau akan tetap seperti ini.” Ujar seorang temanku kala itu.
                Kini setelah kakekku meninggal aku mengambil keputusan untuk mengadu nasib ke kota besar, yah kota besar, kota yang selama ini selalu ditiupkan ke telingaku lewat senandung indah cerita teman-temanku. Jakarta namanya sebuah ibukota di republik ini, kota yang tak pernah tertidur, kota yang penuh dengan hingar-bingar kaum metropolis. Aku masih ingat ketika pertama kali aku mengutarakan maksudku kepada nenek. Tepat di bangku tua di beranda depan rumah itu kami berbicara,namun kini bangku tua itu seakan menertawakan kepulanganku.
                Dulu nenek sangat merasa keberatan jikalau aku harus pergi meninggalkannya, karena aku satu-satunya keluarga yang dia miliki, setelah kedua orangtuaku meninggal dunia. Namun aku tetap harus pergi jua, demi meraih semua nada-nada indah yang ada dalam khayalanku. Lagu merdu yang dahulu sering dinyanyikan sahabat-sahabatku, seakan mewakili kesedihanku setelah ditinggal pergi oleh kakek yang sangat aku kagumi.
“piye kabarmu to le?” tanya nenek.
“alhamdulillah, baik nek”
“kerja dimana kau sekarang?”
Aku terdiam menundukkan wajah, tak sanggup rasanya aku menceritakan kepada nenek, tentang semua yang terjadi di Ibukota.
“apa kau ndak kangen dengan desa tuamu ini lee?” kembali nenek bertanya, sambil menghidangkan teh kesukaanku. Tercium semerbak wangi harum teh khas buatan nenek saat bibirku mendekat ke permukaan gelas alumunium berwarna hijau tua bermotifkan kembang-kembang ini. Nenek memang pandai membuat teh, kental dan manis menjalar turun melalui tenggorokanku yang memang telah haus setelah berjalan kaki hampir dua jam lamanya, maklum disini belum ada kendaraan umum seperti di kota-kota besar. Letak desa kami yang berada dilereng pegunungan membuat akses kendaraan sulit untuk melalui terjalnya jalan yang berliku.
“istirahatlah dulu, kamarmu masih seperti dulu tidak ada yang berubah satupun, tidak seperti dirimu.”
“apa maksudnya nek?” tanyaku keheranan.
“lihat saja dirimu, penampilan kamu itu lho, sudah tidak seperti dulu.” Goda nenek.
“ah, nenek bisa saja.” Jawabku sambili berlalu menuju kamar kecilku dulu.
                  Kupandangi kamar yang berukuran 3x4 meter ini. Benar-benar tak ada yang berubah, batinku. Tembok yang terbuat dari bilik anyaman bambu, bale tempat kubiasa membaringkan badan sehabis bekerja membantu kakek di sawah. Sebuah lemari buku kecil tempat kumenaruh buku-buku kesukaanku, bahkan tak satupun buku yang berkurang. Benar-benar tak ada yang berubah semenjak aku tinggal pergi.
Saat ini aku merasakan waktu seolah-olah tak berputar sama sekali. Rumah ini,kamar kecil dan pengap ini, serta suasana desaku pun tak ada yang berubah sama sekali, seakan-akan tak terjamah oleh tangan-tangan sang waktu yang setiap detik berharap dapat dikabulkan permohonannya saat sedang berdoa kepada sang Maha Kuasa. Aku seakan tak mengenali siapa sebenarnya diriku ini? Kenapa semua yang kulihat sejak menjejakkan kaki dirumah ini, tak ada yang berbeda saat aku tinggal pergi dulu?
 “sudah jangan melamun terus tidak baik” suara nenek mengagetkanku.
“lebih baik kau mandi, lalu istirahatlah dulu, biar nenek menyiapkan masakan kesukaanmu.”
“baik nek” aku pun segera bangkit bergegas menuju bagian belakang rumah tua ini.
                   Akhir-akhir ini aku sering menyendiri dalam kamar, terlebih setelah kejadian itu, rasanya membuatku ingin cepat-cepat meninggalkan kota ini. Muak rasanya melihat tingkah-laku penghuni kota yang katanya metropolis ini. Orang-orang yang hanya mementingkan diri sendiri tanpa mau peduli terhadap sesamanya. Hidup dikota besar macam jakarta ini memang tidaklah mudah seperti yang aku bayangkan sebelumnya, bila tak ada relasi tentu sulit untuk mendapatkan pekerjaan. Sudah lebih dari empat tahun aku berada disini. Berada ditengah-tengah masyarakat materialis, yang selalu memikirkan uang, uang dan uang yang dicari. Waktu adalah uang begitulah kira-kira semboyan mereka, bahkan demi uangpun mereka rela menjual diri, bahkan merekapun rela menyewakan anak mereka kepada sekelompok pengemis demi mendapatkan uang. Rupanya aku salah selama ini, ternyata senandung lagu indah yang dahulu selalu dinyanyikan oleh temanku itu, kini hanya jadi pengantar tidur. Bertahun-tahun aku bekerja keras menyanyikan lagu itu, ternyata suaraku kurang lantang bahkan terdengar seperti kaleng rombeng yang akan membangunkan tidur kita tatkala seseorang menendangnya kencang-kencang. Setelah  kurang lebih empat tahun lamanya aku berjibaku dengan kotak tua ini, ternyata tak dapat mencukupi biaya hidupku. Sepatu demi sepatu kusemir setiap hari demi bertahan hidup dibelantara tak bertuan ini, rimba raya yang penuh dengan gedung-gedung mewah bukan lagi rimbunnya pepohonan, tak lagi merasakan sejuknya angin yang dulu menyapaku setiap pagi saat berangkat ke sawah bersama kakek. Angin itu telah berganti dengan mesin-mesin yang selalu menyala dari matahari terbit hingga tenggelam hingga terbit kembali, begitu seterusnya.
                   Disuatu pagi yang cerah saat berjuta-juta kendaraan berlomba-lomba memenuhi setiap sudut kota ini, aku berjalan dengan kotak tuaku. Ditengah perjalanan seseorang memanggilku.
“hey bung kemari” akupun menghampirinya.
“semir pak?” tanyaku.
“ya iyalah, memangnya untuk apa aku memanggilmu”
Aku pun mulai bekerja, kucopot sepatu pria tua ini, dengan sigap kukeluarkan peralatan tempurku, walau hanya seonggok kain perca, sikat dan sekaleng semir sepatu. Benda ini sangat berjasa kepadaku.
Bapak tua itu memperhatikanku dengan seksama, mulai dari ujung kepala hingga kaki tak luput dari pandangannya, bagaikan seekor macan yang sedang lapar bertemu dengan seekor keledai dungu yang hanya mampu menarik gerobak kehidupan yang semakin hari semakin bertambah bebannya. Aku pun terus saja asyik menyemir tanpa memperhatikan orang-orang disekelilingku.
“ini pak sudah selesai.” Suaraku membuyarkan pandangannya.
“oh, bersih sekali bahkan sampai terlihat seperti baru.”ia memujiku.
“berapa?” tanyanya.
“biasa pak, lima ribu.” Jawabku.
“kau mau menyemir sepatu-sepatuku yang ada dirumah tidak?” tanyanya.
“emm, boleh pak, memang rumah bapak dimana?” terbayang olehku akan hasil yang akan kudapat bila menyemir sepatu-sepatu yang ada dirumah bapak ini. “hemh, bisa makan enak neh”gumamku, tak perlu pula aku capek-capek keliling kota yang panasnya menyengat bagai antup tawon yang pedas saat menyengat mangsanya.
“rumahku tak jauh dari sini” suaranya mengangetkanku.
“kau tunggu disini sebentar, aku akan mengambil mobilku.” Lanjutnya.
Rupanya aku mendapat rezeki yang lumayan hari ini. Yaah,kiranya cukuplah untuk makan hingga nanti malam. Makan malam yang selalu kunikmati dengan sebungkus mie instan, itupun juga tanpa telur unggas, karena harganya yang tak terjangkau oleh penghasilanku dari menyemir sepatu.
Tak lama kemudian kami tiba disebuah rumah mewah yang tampak sepi, aku pun tak tahu dimana aku berada saat ini, karena selama hidup di kota ini aku jarang keluar hanya untuk jalan-jalan saja hampir tak pernah. Seluruh hari-hariku hanya untuk menyemir didepan perkantoran yang jaraknya tak jauh dari tempat aku tinggal. Aku tinggal dengan menumpang pada salah seorang temanku yang dulu selalu meyakinkan aku untuk meninggalkan desa tercintaku, orang-orang yang kusayangi demi secercah harapan yang kadung menyelimuti setiap mimpiku. Tinggal menumpang di rumah kontrakan yang uang sewanya kurang-lebih 300 ribu sebulan, tentu membuat aku harus bekerja keras setiap hari. Bahkan aku sampai tak sanggup mengabari nenekku yang jauh berada di tempat kelahiranku, karena aku malu kepadanya. Dulu aku yang bersikukuh ingin pergi ke kota untuk mencari mimpi yang kini entah pergi kemana. Yang ada hanyalah butir keringat yang harus kutampung sedikit demi sedikit agar aku dapat meraih mimpi itu. Pintu pagar pun mulai terbuka dengan perlahan, saat mobil mewah ini mulai memasuki pekarangan rumah mewah tersebut. Aku ahanya terdiam melihat dari balik kaca mobil ini. Betapa bagusnya rumah ini, halaman yang bersih, pagar-pagar yang berdiri sejajar menampakkan kegagahannnya. Aku bagai masuk ke dalam istana raja, yang hanya bisa kulihat dari kejauhan.
Bapak tua itu mempersilahkan aku masuk, ia pun menuju ke belakang mengambilkan minum untukku. Aneh juga, gumamku. Rumah sebesar ini tiada pembantu seorangpun. Alangkah sunyinya rumah ini, besar dari luar ternyata sunyi dari dalam. Bagai sebuah kapal pesiar yang sedang berlayar dilaut luas, namun tak menemukan satu pelabuhan pun untuk bersandar.
“sepatunya dimana pak?” tanyaku, setelah bapak tua itu kembali dari belakang sambil membawakan dua buah minuman dingin.
“oh, ada dikamar atas, santai sajalah dulu, mari diminum.”
Aku pun meminum pemberian bapak tua itu, rupanya keringnya tenggorokanku tak mampu menahan haus melihat minuman dingin nan segar dihadapanku. Rasanya sedikit membuat kepalaku sakit, ah, kupikir hanya pusing biasa saja, batinku. Setelah meminum dan memakan sedikit suguhan yang disediakan, bapak tua itu beranjak dari tempat duduknya.
“mari kuantar kau keatas.” Ajaknya. Aku pun segera bangkit dari dudukku, walau kepalaku sedikit pening. Aku pun menuju ke lantai atas, berjalan mengikuti bapak tua itu. Tak lama kemudian pintu kamar pun dibukakan olehnya. Ia mempersilahkan aku masuk, sambil menunjuk lemari tempat sepatu-sepatu yang akan kusemir.
                Badanku letih tak berdaya seakan habis bekerja keras bagai budak belian, namun lembutnya alas tempat tidurku ini membuat aku enggan ‘tuk membuka mata, sejuknya udara yang dihembuskan pendingin ruangan ini membuat aku kedinginan,kurasakan sakit bukan kepalang disekitar bokongku,lalu aku membalikkan badan. Sebuah tubuh gemuk yang penuh dengan lemak memelukku, seolah tak mau melepaskanku, aku pun tersadar dan coba ‘tuk berontak, entah apa yang dimasukkannya dalam gelas minumanku tadi sehingga tubuhku seolah-olah bagaikan dehidrasi yang sangat-sangat membuat lemas seluruh sendi-sendiku ini, Lalu semuanya gelap gulita. Hanya tangis mengiringi laguku.

Tegal Krapyak Wetan
Jogja, 2010-11-04

GORETAN

AKU ADALAH DIRIKU
AKU JUGA BAGIAN DIRIMU
AKU TIDAK SEPERTI MEREKA
DAN AKU JUGA BUKANLAH KALIAN
LALU APA BEDANYA KAMU DENGAN AKU?
KITA HANYA  INSAN ILAHI
BERNAMA PEREMPUAN DAN LELAKI
 
MEREKA MENIPU DIRI MEREKA
KALIAN TIADA BEDANYA DENGAN MEREKA!
AKU BAGAI LAUT TAK BERTEPI
MENITI HARI DEMI HARI
SEORANG DIRI MERAJUT MIMPI
 
AKU BUKAN MATERIALIS
AKU JUGA BUKAN DIALEKTIS
AKU HANYALAH LOGIS
YANG TERHIMPIT RUANG EGOISME SESAAT
TERJERAT DIBELANTARA KAPITALIS
DIANTARA TOPENG-TOPENG LAKON
SEMBUNYI DIBALIK PENAMPAKKAN
DAN PERLAHAN MEMBUNUH HARAPAN

Rabu, 27 Oktober 2010

Keteladanan dari balik bencana

Kembali bangsa ini di uji oleh sang Alam, setelah Kep. Mentawai dihinggapi bencana gempa yg disusul oleh tsunami yg tidak terprediksikan sebelumnya oleh pihak BMG. Kini Gn. Merapi yg terletak di yogyakarta memuntahkan amarahnya sehingga menambah beban yg menderu bangsa ini. Berbondong2 masyarakat mengungsi dari lereng gunung tsb, sehingga menimbulkan kepanikan. Salah satu juru kunci yg masih bertahan di kediamannya menolak untuk mengungsi, akhirnya diketemukan telah meninggal dunia. Mbah Maridjan begitu ia biasa disapa oleh banyak orang, siapa yg tak kenal beliau?, sosok yg sederhana, tidak menunjukkan bahwa ia adalah seorang juru kunci. Penampilannya yg sederhana itulah yg membuat beliau di segani oleh masyarakat sekitarnya. kini beliau telah tiada meninggalkan kita semua. Saat ditemukan oleh tim penyelamat, posisi jasad beliau dalam keadaan sujud, seolah2 sedang memohon sesuatu, begitu tegarnya beliau hingga detik2 menjelang akhir hayatnya beliau msh ingat terhadap yg maha kuasa. Pada malam sebelumnya pihak tim penyelamat sudah mencoba mengevakuasi beliau, namun beliau tetap kukuh dengan keinginannya, satu hal yg diucapkan oleh beliau " saya tak mau turun sebelum seluruh masyarakat penghuni lereng Merapi dapat di evakuasi terlebih dahulu". Salah satu bentuk keteladanan sudah ia tunjukkan di saat kondisi alam disekitarnya sudah tertutup oleh debu2 vulkanik dan awan panas yg biasa disebut wedhus gembel, beliau juga mengatakan " saya ingin menjadi orang yg terakhir turun dari lereng Merapi.". ini membuktikan betapa pedulinya beliau terhadap masyarakat sekitarnya. hal yang sangat jarang kita jumpai dewasa ini, disaat bencana melanda masih ada orang yg mau mengabdikan hidupnya demi tugas yg telah diberikan kepadanya, walaupun nyawa menjadi taruhannya. Dari kisah ini dapat dijadikan contoh bagi kita semua.
Selamat jalan wahai pelita dalam gelap tangis......
Jasamu menyelimuti bak kabut senja ditepi lereng merapi.....
Derai tangis mengiringi kepergianmu bak nada2 tak berdawai....
Kan kutabur bunga dalam keabadian hingga sang fajar menyembulkan sinarnya....
Air mata kan berganti dengan derai tawa.....
Tawa dari jiwa2 suci yg akan melentikkan jari - jemarinya....
Memainkan lagu indah yg akan dikenang sepanjang masa.....