Halaman

Senin, 27 Januari 2014

Sebuah Kisah Klasik

Tahun ini adalah tahun yg luar biasa bagiku secara pribadi. Banyak hal yg terjadi sejak waktu pergantian tahun bergulir. Mulai dari kehidupan pribadi, teman, rekan kerja bahkan sebuah keluarga kecil yg sejak beberapa tahun lalu kubina bersama beberapa orang sahabat.
Keluarga kecil itu adalah tempat saya berkreasi dan berkarya hingga menelurkan sebuah hasil yg cukup menggembirakan, yaitu sebuah album musik. Bagiku secara pribadi, setiap musisi mungkin memiliki keinginan agar dapat menorehkan karyanya dalam sejarah perkembangan musik di tanah air tercinta ini. Salah satunya dengan mengeluarkan album yang dapat diapresiasi oleh masyarakat secara luas.
Ya, beberapa waktu lalu saya bersama keluarga kecil ini sempat merilis sebuah EP Album dalam format Kaset Pita dan CD yg hanya diproduksi terbatas karena berbagai pertimbangan. Selain karena modal produksi yg lumayan besar, di sisi lain kami ingin agar para penikmat musik yg mencari dan membeli apa yg kami hasilkan merasakan sebuah kenikmatan tersendiri dapat memiliki album kami, yaitu suatu saat album tersebut akan menjadi barang yg langka.
Alhasil gayung pun bersambut. Dalam kurun waktu 3 bulan album tersebut soldout. Kami pun mulai merasakan gigs yg lumayan besar, bahkan bisa bermain dalam satu panggung bersama beberapa band yg telah lebih dulu besar di kancah musik indie. Merupakan sebuah kehormatan besar bagi saya dan kawan-kawan dapat merasakan hal tersebut. Seiring dengan banyaknya gigs, banyak pula yg menulis tentang band saya ini, baik itu di media, koran, majalah hingga blog pribadi. Tahun lalu kami dikontak oleh sebuah Label Rekaman dari Jakarta yg ingin merilis ulang EP album kami dalam bentuk Vinyl  atau piringan hitam. Duh Gusti sungguh mulia karunia yg engkau berikan kepada kami. Engkau telah mudahkan jalan kami, walau tak sedikit yg mencibir dan berkata bahwa kami belum layak untuk itu, kami tak peduli. Kesempatan itu tidak datang dua kali, itulah yang saya dan kawan-kawan yakini. Kami pun merilis vinyl itu di Jakarta dan Bandung dengan antusias yg lumayan dari penikmat musik.
Tahun ini adalah tahun yg penuh dengan kejadian. Mulai dari alam raya yg menunjukkan kekesalannya terhadap manusia di muka negeri ini dengan memuntahkan isi perutnya melalui sebuah gunung, merendam kota-kota yg penduduknya tak lagi memikirkan lingkungannya dengan banjir di mana-mana hingga mengguncang tanah ini dengan gempa beberapa hari yang lalu. Di saat saya menulis catatan ini pun gempa masih mengguncang tanah tempat saya berpijak. Walau pun hanya sesaat saya dapat merasakan kegelisahanmu duhai alamku. Apakah yg sedang terjadi Gusti? Apakah tahun ini Kau memberikan peringatan untuk kami semua?
Di tahun ini pula negeri ini akan merayakan pesta demokrasinya melalui pemilu. Hingar-bingar politik tampaknya masih membutakan sebagian orang bahwa banyak hal penting yg perlu kita perhatikan di sekeliling lingkungan kita. Apakah sudah sesakit itukah masyarakat ini hingga cenderung egois dan mementingkan diri sendiri?
Kerap kali saya memperhatikan hal itu mulai dari masalah remeh-temeh hingga mengikuti polemik-polemik yg terjadi seperti kebudayaan, sastra, seni hingga para calon anggota dewan yg menjadi bahan tertawaan di media sosial. Memang agak lucu juga sih bila melihat perilaku para netizen beberapa tahun belakangan ini. Padahal menurut saya beberapa hal yg sangat krusial dan penting, tapi yg aneh dan lucunya kita seolah-olah membuat hal itu terlihat penting dari sisi luarnya saja, tidak dari esensinya atau letak permasalahannya dan bagaimana mencari solusi untuk menyikapinya secara bersama bukan malah mengolok-oloknya di media sosial. Ya, begitulah media sosial lama-lama membuat orang menjadi anti-sosial.
Berbicara tentang media sosial saya jadi ingat akan keluarga kecil saya tadi, tepatnya malam ini kami memutuskan untuk membubarkan diri mungkin salah satunya disebabkan oleh penyakit yg tadi saya sebutkan. Dunia ini memang penuh dengan hal-hal yg lucu di mata saya, begitu juga dengan para manusianya. Alih-alih ingin membuat suatu hal yg mungkin lucu di mata kita namun belum tentu lucu di mata orang lain. Bisa jadi hal tersebut menjadi sesuatu yg dianggap serius bahkan cenderung mengejek, menyudutkan hingga hal yg mungkin lebih parah dari itu yaitu menyinggung perasaan. Manusia memang sulit diterka jalan pikirannya. Bahkan kekasih yg kita cintai pun bisa saja membenci kita karena hal yg kadang kita sendiri pun bingung dibuatnya. Kadang buku yg kita baca pun bisa mempengaruhi cara berpikir kita, bahkan yg lebih parah cara kita bertindak pun bisa dipengaruhinya juga.
Perasaan itu memang sesuatu hal yg unik. Untuk menjaganya pun juga dibutuhkan sikap-sikap yg manusia dewasa dalam berpikir saja tidak cukup. Terlebih lagi religi, hal tersebut belum tentu bisa membuktikan bahwa seseorang itu bijak dalam segala tindak-tanduknya. Di jaman ini saja banyak manusia yg menggunakannya sebagai simbol sosial, pakaian atau agar terlihat layaknya manusia yg dekat dengan sang Gusti. Ikhlas saja tidak cukup jika dalam sikap masih penuh dengan rasa amarah atau emosi yg mudah terlihat dari refleksi yg tercermin dalam diri kita.
Hidup ini memang sebuah perjalanan menuju sesuatu entah itu tujuan atau apalah namanya. Seperti gambar di atas sana yg saya buat beberapa waktu lalu. Hidup itu bagai kapal yg sedang mengarungi samudera luas dan tak bertepi. Terkadang berhenti hanya tuk kembali berlabuh lagi. Hujan, badai hingga panas yg menyengat mungkin bagai cobaan dalam setiap perjalanannya.
Setiap manusia memiliki harapan akan hari esok yg lebih baik dari hari ini, begitu pun dengan saya. Saya percaya akan kebaikan hari esok itu ditentukan oleh kebaikan yg telah kita perbuat hari ini. Jika kita berbuat sebuah keburukan, niscaya esok atau di masa yg akan datang kita akan mengalami keburukan atau lebih tepatnya Karma. Karma adalah konsep aksi atau perbuatan yg dalam kepercayaan yg dianut oleh agama India dipahami sebagai sesuatu yg menyebabkan seluruh siklus kausalitas. Dalam konsep karma, semua yg dialami manusia adalah hasil dari tindakan kehidupan masa lalu dan sekarang hingga berdampak pada masa yg akan datang. Sebagai contoh jika kita membuang sampah sembarangan maka dapat menyebabkan banjir dikemudian hari. Sungai-sungai yg kotor dan saluran air yg mampet dikarenakan sampah yg kita buang tadi.  Entah tersapu oleh angin, terbawa oleh air hujan atau yg lebih parah lagi jika kita membuangnya secara langsung ke sungai yg mana sering dilakukan oleh manusia di kota-kota besar sana.
Malam ini ditemani oleh secangkir kopi dari Bali, beberapa batang rokok yg terus saya hisap sejak tadi saya membuang sampah kembali di tempat ini sambil sesekali ikut berdendang oleh playlist lagu yg saya putar dari sebuah band terkenal yg lahir dan besar di kota multikultural ini.

"Sampai jumpa kawanku.....
Semoga kita selalu....
Menjadi sebuah kisah klasik untuk masa depan...."

Ya akhirnya masa lalu, kini dan masa depan nanti hanyalah sebuah kisah klasik untuk siapa pun......




Yogyakarta, 27 Januari 2014
Di antara gempa dan rintik hujan
yg selalu kurindukan dalam harapan.

Jumat, 24 Januari 2014

Sebuah Catatan dari Sahabat

Beberapa waktu yg lalu  saya bertemu dengan kawan lama dari Jakarta ketika dia berkunjung ke Jogja. Ia menghubungi saya sewaktu sedang berada di Malioboro. Agak kaget juga saya mendapat telepon dari sahabat yg telah lama tak berjumpa ini, tiba-tiba saja seakan semesta menyampaikan rindu saya akan kampung halaman yg jauh di ujung pulau Jawa ini dengan kehadirannya. Banyak hal yang kami bicarakan mulai dari kabar, hidup dan tentang pekerjaan. Tak lupa kami berbicara tentang masa lalu saat masih bermain musik bersama-sama sambil menyeruput segelas kopi yg saya beli dari warung angkringan tak jauh dari tempat kami duduk. Rupanya ruang dan waktu tak mengurangi keakraban kami di tengah padatnya orang yg berjalan lalu lalang di sekeliling kami. Mulai dari penjaja makanan dan minuman sampai ke pengamen jalanan yg tak henti-hentinya bernyanyi sambil berkeliling dari satu bangku ke bangku lainnya. Ya, senja itu suasana Titik Nol KM memang ramai akan manusia yg berjalan hilir-mudik entah ke mana tujuannya.
Pembicaraan pun diawali dengan biasa saja, ada satu hal yg tak berubah dari dia. Penampilannya masih seperti dulu ketika saya masih sering bercengkrama bersamanya, rambut gondrong dan berkaos hitam. Dandanan ala rocker-rocker era 80-an. Dia memang seorang pemain gitar yg sangat konsisten dengan permainannya, dari dulu hingga sekarang masih suka memainkan lagu-lagu klasik rock macam Deep Purple, Queen, Van Hallen dsb, hingga mempengaruhi gaya hidup serta penampilannya.
Saya masih teringat ketika dulu sering berdiskusi di teras rumahnya sambil mendengarkan beberapa koleksi musik kegemarannya. Mulai dari hal-hal yg remeh temeh, politik hingga ke hal-hal yg transenden seperti Tuhan beserta agama-agama yg diusung para pengikutnya.
Namun kini ada yg berbeda dengan dirinya. Ia datang ke Jogja bersama istrinya yg baru, wah sungguh kaget saya mendengar bahwa ia telah bercerai dengan istri pertamanya. Padahal kami sangat dekat dan sudah seperti keluarga, karena kakak dari istri pertamanya  merupakan satu band dengan kami. Tapi saya enggan menanyakan apa sebabnya karena itu hal yg privasi menurut saya, walaupun dulu kami sudah sering saling bercerita panjang-lebar tentang hidup masing-masing. Mungkin juga karena ada satu wajah asing yg saya belum begitu akrab denganku hingga agak malas juga saya membahasnya.
Saya senang sekali karena dia membawa kedua anak lelakinya serta. Sudah lama saya tak bercengkrama dengan kedua anak ini yg kerap memanggil dengan sebutan Om danny, hahahaha merasa tua juga ya dipanggil om :P
Rupanya sudah tumbuh besar anak yg pertama. Kini sudah hampir sebahu saya, padahal masih sekolah dasar...hmm rupanya pertumbuhan anak sekarang begitu cepatnya seiring dengan kemajuan jaman ini. Padahal dulu beberapa tahun yg lalu sebelum saya memutuskan pindah ke kota ini anak itu masih kecil dan lucu-lucu menggemaskan.
Si anak bercerita dengan penuh semangat kepada saya bahwa dia sudah bisa memainkan gitar bahkan sudah memiliki gitar pribadi seperti papanya, wah...wah buah jatuh ga jauh dari pohonnya pikirku. Kegemaran musiknya pun sama dengan papanya. Sama-sama cadas bro.....
"Gile lu bro, anak lu kaga jauh beda sama lu" ujarku kepadanya.
"Wah sekarang sudah bisa main Van Hallen, GNR dan Deep Purple Dan..."
Anjriiit pikirku, emang kebiasaan yg saya tahu sejak dulu si anak sering memperhatikan papanya saat bermain gitar bahkan sering ikut nongkrong dengan kami di depan teras rumah, ternyata mempengaruhi selera musik si anak juga.
Saya jadi ingat pernah membaca hal tentang selera musik yg berhubungan kepribadian. Selera musik dengan kepribadian seseorang memang bisa dikaitkan erat atau bisa disebut selera musik membentuk kepribadian seseorang. Jika sejak kecil si anak sudah seringkali dicekoki musik yg hampir sama setiap hari oleh orangtuanya, maka kemungkinan besar akan berdampak pada selera musiknya pada saat ia tumbuh berkembang, contohnya seperti anak dari sahabat saya ini. Lain hal ketika kita orang dewasa, kita dapat memilih sendiri jenis musik yang kita sukai seperti Klasik, Pop, Jazz, Country, Rock, Metal, Dangdut, Disco. Kita akan menikmati suasana musik tersebut bila diperdengarkan sesuai suasana yg kita rasakan saat itu.
Bicara mengenai selera musik pun tak terlepas dari suasana kondisi psikologis si pendengar. Jika suasana hati sedang sedih seringkali kita mendengarkan musik-musik yg bernada melankolis, cenderung agak-agak mellow gitu. Menurut seorang teman, terkadang salah memilih playlist musik pun bisa merusak suasana hati. Mungkin anda pernah mengalaminya?
Tak lama setelah itu kami pun berjalan di antara pertokoan sepanjang jalan Malioboro sambil sesekali berhenti di salah satu lapak pedagang kaki lima. Setelah puas berbelanja kami pun memutuskan untuk makan di Oyot Godhong Resto yg terletak di lt.3 Mirota Batik. Sengaja saya memilih tempat agak di Pinggir supaya dapat menikmati lalu-lalang kendaraan di bawah sana. Ya, pemandangannya memang agak terbuka di atas gedung yg digunakan sebagai restoran ini. Setelah memesan makanan kami pun berbincang kembali diiringi suara gending gamelan yg terdengar sayup-sayup. Si Istri pun mulai membuka percakapan denganku.
"Malioboro kini sudah tak seindah dulu ya, Dan"
"Kenapa bisa begitu mba?" Tanyaku.
"Dulu sewaktu aku datang ke sini, yg aku menarik itu wisata budaya dan keseniannya. Koq sekarang malah wisata belanja ya?"
"Oh, mungkin karena dulu setahu saya kawasan ini semacam tempat melting pointnya para seniman dengan berbagai kalangan mba, menurut beberapa kawan sebelum kampus ISI dipindah ke pelosok selatan sana para mahasiswa seni itu suka berkumpul di kawasan ini mba, namun kini mungkin agak berkurang karena jaraknya juga lumayan dari tempat mereka belajar seni."
"Oh ya, what do you do for living?" tanyanya kepadaku.
"Apa saja mba, saya berkesenian sambil belajar banyak hal di kota ini"
Tak lama berselang pelayan pun datang menghampiri sambil membawakan makanan yg kami pesan. Tak lama setelah makan pun mereka pamit ingin kembali pulang.
Yaah, walau pun hanya sejenak berjumpa namun senang rasanya bila bertemu dengan seorang sahabat di tempat yg jauh dari segala kenangan akan masa lalu. Semoga masa yg akan datang lebih baik kawan, mungkin suatu saat nanti aku yg akan datang berkunjung ke kotamu. Selalu ada kesempatan bagi setiap Insan yg mau berusaha melakukan yg terbaik bagi hidupnya. Entah dengan jalan apa, satu hal yg saya catat di sini lakukanlah apa yg menjadi hasratmu dalam hidup ini, jika waktunya nanti pintu rezeki pun akan terbuka selama kamu masih mengerahkan segala daya dan upaya.
Mari wujudkan mimpi!!!


Senin, 20 Januari 2014

Beragama itu perlu akal sehat

“Through humility, soul searching, and prayerful contemplation we have gained a new understanding of certain dogmas. The church no longer believes in a literal hell where people suffer. This doctrine is incompatible with the infinite love of God. God is not a judge but a friend and a lover of humanity. God seeks not to condemn but only to embrace. Like the fable of Adam and Eve, we see hell as a literary device. Hell is merely a metaphor for the isolated soul, which like all souls ultimately will be united in love with God.”
-Pope Francis-

Membaca kalimat di atas saya jadi terperangah dengan pemikiran pemimpin tertinggi gereja Katolik Roma ini, ia seorang yang sangat humanis sehingga pemikirannya pun selalu berlandaskan pada kemanusiaan sebagai acuan untuk mencari kedamaian dalam hidup beragama.
Beliau berkata bahwa melalui kerendahan hati, pencarian jiwa, dan kontemplasi doa kita telah mendapatkan pemahaman baru tentang dogma-dogma tertentu. Pemahaman tentang gagasan atau konsep ketuhanan yang selama ini kita pelajari melalui berbagai dogma agama yang kita yakini sejak kita mengenal apa itu arti beragama. Menurutnya Tuhan bukanlah hakim tapi seorang sahabat dan pecinta kemanusiaan dan neraka hanyalah sebuah metafor bagi jiwa yang terisolasi.
Seringkali sebagian orang mengkontruksi pikirannya bahwa Tuhan itu sesuatu yang sangat suci hingga kita pun tak bisa sembarangan meraihnya bahkan untuk bermain-main atau bercengkrama denganNya layaknnya seorang sahabat. Ia sesuatu yang sangat jauh untuk kita raih, karena membutuhkan pengetahuan khusus untuk dapat mengenalnya lebih dalam. 
Pada jaman dahulu kita pun pernah mendengar kisah tentang Syekh Siti Jenar yang dianggap sesat oleh para ulama karena apa yang diajarkan Syekh Siti Jenar pada waktu itu yaitu pemahaman tentang ilmu tasawuf.  Ilmu yang baru bisa dipahami ratusan tahun setelah wafatnya Syekh Siti Jenar. Ajaran yang terkenal dengan idiom Manunggaling Kawula Gusti. Arti dari Manunggaling Kawula Gusti dianggap bukan bercampurnya Tuhan dengan makhluk-Nya, melainkan bahwa Sang Pencipta adalah tempat kembali semua makhluk dan dengan kembali kepada Tuhannya, manusia telah bersatu dengan Tuhannya. Para ulama mengkhawatirkan adanya kesalahpahaman dalam menerima ajaran yang disampaikan oleh Syekh Siti Jenar kepada masyarakat awam di mana pada masa itu, ajaran Islam yang harus disampaikan seharusnya masih pada tingkatan syariat, sedangkan ajaran Syekh Siti Jenar telah jauh memasuki tahap hakekat, bahkan makrifat kepada Allah. Oleh karena itu, ajaran yang disampaikan oleh Syekh Siti Jenar dikatakan sesat. Dalam pupuhnya, Syekh Siti Jenar merasa malu apabila harus memperdebatkan masalah agama. Alasannya sederhana, yaitu dalam agama apa pun, setiap pemeluknya sebenarnya menyembah zat Yang Maha Kuasa, hanya saja masing-masing menyembah dengan menyebut nama yang berbeda dan menjalankan ajaran dengan cara yang belum tentu sama. Oleh karena itu, masing-masing pemeluk agama tidak perlu saling berdebat untuk mendapat pengakuan bahwa agama yang dianutnya adalah yang paling benar. Syekh Siti Jenar juga mengajarkan agar seseorang dapat lebih mengutamakan prinsip ikhlas dalam menjalankan ibadah. Orang yang beribadah dengan mengharapkan surga atau pahala berarti belum bisa disebut ikhlas.
Menurut kisah Syekh Siti Jenar di atas kita meyakini bahwa Tuhan itu ada dalam setiap diri manusia itu sendiri. Bukankah manusia memiliki sifat-sifat ketuhanan juga? 
Jika memang demikian lalu mengapa dalam beragama seringkali kita menyaksikan pertentangan-pertentangan yang terjadi antara umat beragama yang satu dengan yang lainnya. Mulai dari perang salib yang terjadi pada Abad ke-11 sampai dengan Abad ke-13, dimulai dengan gerakan umat Kristen yang memerangi umat Muslim di Palestina dengan tujuan untuk merebut tanah suci dari kekuasaan kaum Muslim lalu mendirikan gereja dan membangun kerajaan Latin di Timur. Perang terus berlanjut hingga Abad ke-16 dan berakhir ketika iklim politik dan agama di Eropa berubah secara signifikan selama masa Renaissance.
Akhir-akhir ini pun kita masih sering mendengar pertikaian antar umat beragama khususnya di negeri tercinta tempat saya dilahirkan ini. Orang dapat sekali berteriak-teriak tentang kebesaran Tuhan dan mengkafirkan siapa saja yang bertentangan dengan mereka di jalan-jalan dengan memakai atribut keagamaan tertentu. Sudah sampai di titik itukah toleransi beragama di negeri ini?
Dalam Hukum Konstitusi negara ini seharusnya kebebasan beragama dijalankan berdasarkan apa yang telah diatur oleh Undang-Undang Dasar Tahun 1945 Pasal 28E ayat (1) yang berbunyi sebagai berikut :

“Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali.”

Pasal 28E ayat (2)  UUD 1945 juga menyatakan bahwa setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan. Selain itu dalam Pasal 28I ayat (1) UUD 1945 juga diakui bahwa hak untuk beragama merupakan hak asasi manusia. Selanjutnya Pasal 29 ayat (2) UUD 1945 juga menyatakan bahwa Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduknya untuk memeluk agama.

Bukankah sudah jelas bahwa apa yang kita yakini dan kita percayai dijamin secara pasti dan tertulis oleh Undang-Undang?
Kembali ke topik awal sepertinya kita memang harus memaknai kembali apa yang kita yakini tentang keyakinan kita sehingga kita tak mudah diprovokasi oleh sebagian orang bahwa apa yang orang lain yakini itu kita anggap sebagai perbuatan yang menyimpang dan menyesatkan. Seperti apa yang dikatakan oleh Paus Francis di atas bahwa kita harus memahami Adam dan Hawa seperti dongeng yang diceritakan sejak kita kecil, kita melihat neraka sebagai perangkat sastra. Dan jika Neraka hanyalah sebuah metafora untuk jiwa terisolasi, di mana semua jiwa seperti pada akhirnya akan bersatu kembali dalam cinta dan kasih dengan Tuhan. Dalam pidatonya yang menggemparkan dunia, Paus Francis menyatakan :

“All religions are true, because they are true in the hearts of all those who believe in them. What other kind of truth is there? In the past, the church has been harsh on those it deemed morally wrong or sinful. Today, we no longer judge. Like a loving father, we never condemn our children. Our church is big enough for heterosexuals and homosexuals, for the pro-life and the pro-choice! For conservatives and liberals, even communists are welcome and have joined us. We all love and worship the same God.”

Apa yang dikatakannya merupakan kebenaran apa yang diyakini olehnya. Ia melakukan sebuah perubahan evolusioner dalam memandang agama. Waktunya telah tiba untuk meninggalkan semua intoleransi. Kita harus menyadari bahwa kebenaran agama berkembang dan perubahan. Kebenaran tidak mutlak atau diatur dalam batu. Mungkin bagi sebagian orang yang memiliki kepala batu perlu memahami apa yang dikatakan Paus Francis kepada kaum Katolik yang masih memegang teguh tradisi lamanya.

“God is changing and evolving as we are, For God lives in us and in our hearts. When we spread love and kindness in the world, we touch our own divinity and recognize it. The Bible is a beautiful holy book, but like all great and ancient works, some passages are outdated. Some even call for intolerance or judgement. The time has come to see these verses as later interpolations, contrary to the message of love and truth, which otherwise radiates through scripture. In accordance with our new understanding, we will begin to ordain women as cardinals, bishops and priests. In the future, it is my hope that we will have a woman pope one day. Let no door be closed to women that is open to men!”
 
Dan akhir kata kita harus kembali kepada diri kita masing-masing bukan? kembali menafsirkan apa arti kita sebagai manusia seutuhnya manusia, bukan sebagai manusia yang hanya separuh manusia dalam diri kita yaitu memiliki sebagian sifat hewani dalam otak dan perilaku kita.

"You don't have to believe in God to go to heaven" - Pope Francis


Minggu, 19 Januari 2014

Berusaha Jujur itu Baik koq

Jika Sayidina Ali pernah berucap "Sesuatu yang baik tidak pernah cukup baik untuk segala waktu dan segala tempat" mungkin apa yang dikatakannya ada benarnya juga, bahwa apapun yang kita pandang baik belum tentu baik bagi orang lain. Seperti halnya dalam sebuah hubungan antar pertemanan, pasangan bahkan jauh lebih kompleks daripada itu.
Akhir-akhir ini saya mengalaminya apa yang telah saya lakukan dan saya pandang baik di mata saya ternyata tidak baik di mata orang itu. Padahal saya memang tidak ada niat untuk berbuat hal yang tidak baik kepadanya, mungkin hanya saja dia yang tidak mengerti apa maksudnya.
Kesalahan dalam berbahasa pun juga dapat mengakibatkan hal yang demikian terjadi. Bahasa yang satir atau menyindir secara halus mungkin tak akan dirasakan oleh pihak yang disindir. Memang butuh kepekaan tersendiri dalam memahami sebuah sindiran melalui bahasa satir. Seperti kalimat yang selalu membuat saya ingat akan kampung halaman yaitu "Peka dan Peko itu beda tipis".
Bagi orang kampung saya kebanyakan mengatakan suatu hal kepada seseorang dengan menyindir atau mengece istilah di sini adalah dengan mencampurkan dengan hal-hal yang lucu sehingga pihak yang sedang disindir itu tidak sadar bahwa ia sedang disindir. Maklum saya memang besar di daerah betawi yang budayanya penuh dengan lawakan bahkan hal tersebut menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari.
Ini berbeda jauh dengan kehidupan di sini yang mana penuh tata-krama, sopan-santun, ewuh-pakewuh atau apalah namanya itu bisa membuat seseorang seolah-olah bersikap manis di depan kita padahal di belakang ia tak segan mengumpat. Hal ini tentu berbeda lagi dengan budaya hidup di seberang pulau sana yang terbiasa menggunakan pantun sebagai alat untuk menyindir seseorang ataupun kaum tertentu bahkan ada yang sambil diiringi oleh musik sebagai pelengkap. Tetapi saya lebih menyukai apa yang terbiasa menjadi bagian dari hidup saya dengan mengatakan sesuatu dengan secara langsung. Memang kadang terlalu jujur itu menyakitkan bagi sebagian orang, tapi setidaknya berusaha untuk jujur itu lebih baik daripada tidak sama sekali.

Yogyakarta, awal 2014 yang sedang dilanda hujan sambil menikmati secangkir kopi Gayo