Oleh Soni Farid Maulana
Dalam tubuhku ini
kunanti hal
yang serba mungkin
MENELUSURI proses kreatif penulisan puisi sama asyiknya dengan menulis puisi itu sendiri.
Setiap penyair jika ditanya soal ini, yakni ditanya soal apa dan bagaimana menulis puisi,
maka ia akan menjawab pertanyaan tersebut dengan cara pandangnya masing-masing, yang khas,
yang satu sama lainnya berbeda. Namun demikian secara esensial jawaban dari pertanyaan
tersebut; pasti mengarah pada inti yang sama, bahwa menulis puisi pada dasarnya merupakan
medan ekspresi dari bayang-bayang pengalaman. Dan apa yang dimaksud dengan bayang-bayang
pengalaman atau mengolah pengalaman sebagai sumber penciptaan puisi itu. meski secara
ringkas sudah diuraikan pada halaman sebelumnya.
Uraian di bawah ini, merupakan satu sisi dari sekian banyak model penulisan puisi, yang
secara teknis bisa dipelajari oleh siapa pun yang berminat menekuni dunia tulis-menulis
puisi. Sedangkan mengenai isi dan kualitas puisi, sekali lagi, semua itu sangat bergantung
kepada intensitas penghayatan sang penyair terhadap berbagai pengalaman hidup yang menarik
perhatiannya. Di samping itu, tentu saja, sangat bergantung pula pada seberapa jauh sang
penyair menguasai bahasa dan kosa kata yang dipakainya sebagai alat untuk berekspresi
maupun berkomunikasi dari apa yang ditulisnya itu.
Berkaitan dengan hal tersebut, sekalipun teknis penulisan puisi bisa dipelajari, nyatanya
menulis puisi tidak gampang. Apa sebab? Pertama si penyair harus peka terhadap keadaan
jiwanya dan perasaannya, termasuk peka terhadap seluruh pengalaman hidupnya, baik yang
bersifat fisik maupun metafisik. Yang dimaksud peka dengan pengalaman yang bersifat fisik
itu, misalnya si fulan dengan tangannya sendiri memangkas setangkai bunga mawar, atau
dengan matanya sendiri melihat secara nyata tukang becak ditabrak mobil, atau ia ditinggal
pergi oleh kekasih tercinta, yang dibawa lari oleh orang lain. Sedangkan yang dimaksud
dengan pengalaman metafisik adalah sebuah pengalaman nonragawi, seperti rindu pada kekasih
yang jauh, berasyik-masyuk dengan diri-Nya, mengalami dicabut maut dalam mimpi, dan
sebagainya.
Untuk itu, mengasah kepekaan terhadap apa yang dialami baik secara fisik maupun metafisik
menjadi penting, karena hal itu akan memperlancar daya kreatif seorang penyair dalam
menulis puisi-puisinya. Di samping itu hal tersebut akan pula menjelma “bank naskah
pengalaman,” yang kelak tiada habisnya digali sebagai sumber penciptaan puisi. Berkaitan
dengan itu jelas sudah, bahwa menulis puisi tidak bisa lahir dari “ruang batin yang
kosong,” dari sesuatu yang tidak dialami baik secara fisik maupun metafisik.
Jika menulis puisi berangkat dari “ruang batin yang kosong,” maka apa yang ditulisnya itu
akan terasa tanpa greget, dan bahkan hampa dari makna. Lain halnya bila apa yang kita
ekspresikan itu bersumber dari pengalaman, maka rasa dari setiap kata yang kita ekspresikan
dalam larik-larik puisi yang kita tulis itu akan hadir dengan sendirinya. Karena itu tak
aneh kalau penyair Sitor Situmorang berkata lebih lanjut, bahwa:
dalam tubuhku ini
kunanti hal
yang serba mungkin.
Hal yang serba mungkin akan hadir dalam puisi yang kita tulis, bila kita mengalami sesuatu
yang menggerakkan daya imajinasi 6 kita untuk berproses kreatif. Di samping itu, selain
peka terhadap hal-hal yang demikian, harus pula peka terhadap rasa kata yang terdapat dalam
bahasa yang kita gunakan sebagai kendaraan utama dalam berproses kreatif menulis puisi.
Jika kita tidak menguasai bahasa dan kosa kata dengan baik, maka sangat mustahil kita akan
bisa mengekspresikan pengalaman tersebut dalam bentuk puisi yang kita tulis.
Peka terhadap pengalaman itu artinya peka terhadap suasana. Bagaimana mungkin kita akan
bisa mengekspresikan suasana di sekitar kita, di hati dan pikiran kita dengan baik, kalau
penguasaan kita terhadap bahasa dan kosa kata tidak pada tempatnya? Hidup dan matinya
sebuah puisi, antara lain terletak pada penguasaan bahasa, kosa kata, dan juga pengalaman
hidup yang dikenali betul oleh sang penyair hingga ke sudut-sudutnya yang paling gelap,
meski benar bahwa ketika seorang penyair menulis puisi, ia tidak harus mengangkat seluruh
sudut pengalaman yang dikenalinya untuk diekspresikan dalam satu lembar kertas. Yang
ditulisnya, pastilah sebuah sudut yang paling menggoda hati dan pikirannya saja.
Lepas dari itu, dari segi isi, unsur-unsur yang terkandung dalam puisi sebagaimana
dikatakan I. A, Richards dalam bukunya yang terkenal itu, The Rose of Poetry 7 terdiri dari
unsur-unsur perasaan (feeling), tema (sense), amanat (intention), dan nada (tone). Tiga
unsur tadi adalah unsur-unsur dalaman (jeroan) puisi. Selain menguasai tiga unsur tersebut,
tentu saja kita harus menguasai bahasa dan kota kata dengan baik. Penguasaan tersebut
menjadi penting diperhatikan karena ia adalah alat untuk mengomunikasikan bayang-bayang
pengalaman yang hendak kita ekspresikan dalam menulis puisi. Di dalam memilih kata-kata
(diksi) yang akan kita tulis itu, kelak kita akan berhadapan dengan kata-kata yang
berirama, yang menghasilkan rima dan ritma. I.A. Richards menyebutnya rhyme and rhytm.
Hadirnya rima dan ritma dalam larik-larik puisi itu antara lain bisa juga dibangun lewat
penggunaan bahasa figuratif (figurative languange) yang salah satu fungsinya antara lain
untuk menegaskan atau mengkonkretkan bayang-bayang pengalaman yang dimaksud -- sehingga si
apresiator bisa menikmati amanat (intention) dan keindahan puisi yang ditulis oleh seorang
penyair. Berkait dengan itu, pentingnya unsur bunyi dalam struktur puisi, karena hal itu
akan turut membangun makna puisi secara keseluruhan. Ini berarti puisi tidak hanya dibangun
oleh serangkai kosa kata dan gramatikal yang melahirkan pesan. Akan tetapi dibangun pula
oleh unsur-unsur estetik bunyi dari rangkaian vokal dan konsonan yang berlagu dan berirama,
yang adakalanya disebut rima dan ritma dalam puisi.
Tadi disebutkan bahwa sumber penciptaan puisi adalah pengalaman yang bermuara pada
kehidupan, baik yang dialami secara konkret (fisik) maupun meta fisik.. Berkaitan dengan
itu, seorang penyair dalam mengasah kepekaannya terhadap pengalaman pribadinya maupun
denyut kehidupan itu sendiri, jangan hanya memperhatikan hal-hal yang besar saja, hal-hal
yang kecil pun, yang dianggap remeh oleh orang lain harus pula diperhatikan.
Apa sebab? Karena di dalam pengalaman yang dikira remeh itu, sering terdapat makna tak
terduga. Misalnya, pada suatu hari kita memperhatikan dengan baik tentang sekuntum mawar
yang dipangkas orang secara paksa dari tangkainya. Apa yang terjadi peristiwa tersebut?
Jelas, mawar yang dipangkas orang dari tangkainya itu akan layu. Demikian pula bila kita
memperhatikan uap es dalam kulkas. Pengalaman tersebut memberikan sebuah gambaran baru yang
bisa dirasakan secara konkret, bahwa tingkat kedinginan antara air di bak mandi dengan uap
es dalam kulkas jelas berbeda.
Uraian di atas yang dipetik dari pengalaman konkret itu, tampaknya memang sepele. Lalu apa
hubungannya dengan penulisan puisi dari dua kejadian yang kita alami secara nyata itu?
Tentu saja ada. Secara tidak langsung bila kita memperhatikan hal yang demikian dengan
cermat, maka hal itu diam-diam menjelma “bank naskah pengalaman” di dalam hati dan pikiran
kita. Jelasnya, hal itu akan sangat berguna bila dalam puisi yang kita tulis harus
menggunakan bahasa figuratif, yang fungsinya antara lain untuk mengkonkretkan pengalaman
yang dirasa abstrak bentuk dan rupanya.
Misalnya, pada suatu hari, kita putus cinta. Kekasih kita dibawa lari oleh orang lain. Kita
ingin puisi yang kita tulis itu mampu menggambarkan rasa murung di dalam hati kita tanpa
sedikitpun menggunakan pilihan kata yang berbunyi murung.. Adakah hal tersebut bisa
dilakukan? Jawabnya tentu saja bisa, yakni dengan menggunakan bahasa figuratif . Tadi
disebutkan bahwa dalam “bank naskah penglaman” yang ada di dalam kepala dan hati kita itu;
kita pernah pada suatu hari mengalami secara kongkret melihat setangkai mawar dipangkas
orang secara paksa dari tangkainya, atau kita pernah melakukan hal itu.
Bagi seorang penyair kreatif, ia tentunya akan memanfaatkan pengalaman tersebut untuk
melukiskan perasaan cintanya yang pahit dan getir itu, setelah ia memahami semuanya dari
sisi mana rasa luka dan rasa yang murung itu akan diekspresikannya dalam bentuk puisi.
Seketika, setelah semuanya jelas, daya imajinasi dalam kepalanya segera bergerak,
menyeleksi sekian diksi yang dikenalnya dengan akrab, dan juga dipahami maknanya secara
jelas.. Dari sekian diksi yang dipilihnya itu, terbentuk larik-larik puisi, seperti ini:
sejak kau pergi dari sisiku, cintaku,
jiwaku seperti setangkai mawar
dipangkas orang dari pangkalnya
Tiga larik puisi tersebut, dengan tegas dan jelas segera menginformasikan sebuah pengalaman
pada kita, yakni informasi tentang perasaan si aku lirik yang murung dan layu ditinggalkan
kekasihnya yang diibaratkan atau diandaikan dengan setangkai mawar yang dipangkas orang
dari pangkalnya. Bukan hanya perasaan murung dan layu yang hadir dalam tiga larik puisi
tersebut, tetapi juga perasaan sakit yang amat sangat, yang mengendap di hati si aku lirik.
Rasa sakit, layu, dan murung itu memang tidak tersurat dalam tiga larik puisi tersebut,
akan tetapi tersirat. Itulah yang dimaksud dengan salah satu bentuk dari bahasa figuratif
dalam puisi, dan ia tidak mesti hadir dalam seluruh puisi yang ditulis oleh seorang
penyair. Pada sisi yang lain, bisa juga berfungsi sebagai penekan suasana, atau sebagai
konkretisasi dari pengalaman yang semula dirasa abstrak itu. Semisal tentang uap es dalam
kulkas itu, dalam sebuah puisi yang lain si fulan menulis seperti ini:
betapa dingin udara lembang
bagai uap es dalam kulkas
dedaunan pun menggigil
bagai daging dan tulang di tubuhku
Apa yang digambarkan dalam empat larik puisi tersebut lebih berfungsi sebagai penekan
suasana. Bahasa dengan demikian, sebagaimana dikatakan oleh Dr. I. Bambang Soegiharto dalam
bukunya8 bukan sekadar teks, struktur dan makna. Bahasa adalah juga pengalaman, pengalaman
yang dihayati. Pengalaman yang dihayatilah yang terungkap dalam bahasa dan yang memberi
kepada bahasa makna-makna eksistensial. Di sini pengalaman bukanlah sesuatu “yang lain,”
yang bersifat metafisis; bukan pula sesuatu yang di luar sehingga bahasa seolah-olah hanya
mengacu kepadanya saja. Bahasa adalah makna dari pengalaman itu sendiri.
Adanya pengalaman di dalam bahasa, dalam hal ini di dalam bahasa figuratif, lebih tegasnya
lagi di dalam puisi, ternyata satu sama lainnya tidak bisa dipisahkan. Ini artinya, sekali
lagi, bahwa menulis puisi tidak bisa dikhayal-khayalkan, sekalipun di dalamnya ada
imajinasi, sebuah dunia yang direka, yang dihadirkan kembali menurut tafsir si penyairnya
seusai membaca pengalaman puitik yang menggelitik hatinya tadi. Tentang digunakannya bahasa
figuratif dalam puisi yang hanya muncul pada bagian-bagian tertentu itu, bisa kita lihat
lebih jelas lagi dalam puisi di bawah ini:
Lagu Siul
Laron pada mati
Terbakar di sumbu lampu
Aku juga menemu
Ajal di cerlang caya matamu
Heran! Ini badan yang selama berjaga
Habis hangus di api matamu
‘Ku layak tidak tahu saja
Dalam puisi tersebut, Chairil mengandaikan si aku lirik sebagai laron, yang kerap memburu
cahaya, dan rela mati terbakar oleh cahaya yang panas itu, entah cahaya lampu patromaks,
neon, maupun cahaya api. Tentu saja, yang dimaksud oleh Chairil dalam puisi tersebut adalah
tentang keadaan si aku lirik yang senantiasa lapar memburu cahaya cinta, dan rela mati
terbakar oleh cahaya cinta yang didapatnya di padang perburuan. Dalam sajak tersebut ada
pengalaman konkret yang dialami Chairil, yakni dirinya melihat proses kematian laron seusai
memburu cahaya yang menyebabkan dirinya terbakar oleh cahaya yang diburunya itu.
Pengalaman fisik tersebut menjadi sebuah pengalaman metafisik, lebih tegasnya menjadi
sebuah pengalaman spiritual yang penuh dengan daya pesona religius, setelah Chairil
mengolah pengalaman tadi lewat larik-larik puisinya yang berbunyi: aku juga menemu ajal/ di
cerlang caya matamu// sebuah ungkapan yang indah, daya imajinasi yang bekerja dalam puisi
tersebut jelas bukan bersumber dari ruang batin yang kosong, tetapi dari sesuatu yang
dialami secara konkret, untuk kemudian direka kembali dalam sebuah pengalaman yang baru.
Puisi lainnya di bawah ini, juga berangkat dari kerja semacam itu:
Angin Malam
- untuk Heni Hendrayani
Angin malam terasa dingin
Hingga ke liang nyawa. Di dinding bayang-bayang
Kau dan aku laik wayang
Dimainkan ki dalang dengan kisah yang kelam
Kita adalah korban sekaligus pelaku
Tapi tak ada gending kemenangan
Atau kekalahan
Dalam ruangan ini, selain keheningan
Menghayati kelahiran
Juga kematian. Lihat di dinding
Bayang-bayang itu saling melebur
Takut dicekik kesepian
1993
Dari dua contoh di atas, jelas sudah apa yang dimaksud dengan bahasa figuratif dalam puisi.
Secara teknis, cara bekerja bahasa tersebut telah diuraikan dengan singkat. Ini artinya
bisa dipelajari. Sedangkan masalah isi dan kualitas garapan bahasa tersebut, sekali lagi
semua itu sangat bergantung kepada tingkat pengalaman dan penghayatan sang penyair terhadap
berbagai pengalaman hidup yang dilakoninya secara sungguh-sungguh.
Berkaitan dengan hal tersebut, tak salah kalau dalam sebuah esainya yang cukup menarik
perhatian saya, penyair Perancis abad 19, Paul Valery antara lain mengatakan, karya-karya
jiwa manusia, sajak atau yang lainnya, hanya dapat dihubungkan dengan “sesuatu yang
melahirkan dirinya sendiri,” dan sama sekali tidak dapat dihubungkan dengan apapun yang
lainnya.11 Puisi di atas yang saya tulis pada tahun 1993 itu, berangkat dari pengalaman
menonton pertunjukan wayang kulit. Pada sebentang layar kain putih saya melihat bayang-
bayang wayang yang diam, bergerak, maupun yang berkelebat. Dalam pertunjukan wayang kulit,
apapun maknanya, selalu ada pertarungan bayang-bayang, antara baik dan buruk, dan
sebagainya..
Pada sisi yang lain menulis puisi bisa pula dilakukan dengan cara yang lain, yakni tidak
menggunakan bahasa figuratif dalam larik-larik puisi yang ditulisnya. Misalnya, pada suatu
hari mungkin kita pernah duduk di sebuah halaman rumah, entah di kursi atau apa saja yang
ada di halaman rumah tersebut. Kita memandang ke arah luar, yang ada di hadapan kita pada
saat itu boleh jadi sebuah taman kecil, ada rumpun bebungaan, ada kupu-kupu dan juga
burung-burung yang beterbangan. Kita terpesona dan bahkan terpana karenanya. Lalu tiba-tiba
hujan jatuh dengan amat derasnya.
Saya yakin saat itu ada sebuah pengalaman yang dengan cepat berubah pula dalam diri kita.
Ingatan kita tentang pengalaman tersebut terus membayang dan kita sukar melupakannya.
Sebagai penyair kita ingin menuliskannya. Nah dalam menuliskan pengalaman yang demikian itu
-- seorang penyair harus peka terhadap apa yang dilihat dan didengarnya. Adanya kepekaan
semacam ini kaitannya kelak berurusan dengan apa yang disebut imaji penglihatan (visual)
dan imaji pendengaran (auditif). Adanya kepekaan terhadap kedua unsur tersebut pada sisi-
sisi tertentu bisa menyebabkan pilihan diksi yang kita pakai dalam penulisan puisi itu jadi
berlagu, menghasilkan rima dan ritme. Inilah, antara lain yang menyebabkan puisi enak
dibaca.
Apa yang dipaparkan di atas tentang pengalaman di halaman rumah itu, adalah apa yang
disebut sebagai bayang-bayang pengalaman yang di dalamnya melibatkan perasaan kita. Ruh
dari puisi adalah rasa (feeling). Sedangkan tema (sense) yang kita hadirkan dari suasana
yang demikian itu boleh jadi berupa kesepian atau kesunyian dan kesendirian. Sedangkan apa
yang dinamakan amanat (intention) tergantung dari sisi mana kita akan mengomunikasikan atau
menafsir pengalaman tersebut. Dan itu tidak usah dipikirkan karena akan lahir dengan
sendirinya, bila kita benar-benar serius dalam mendalami pengalaman tersebut sebagai
pengalaman spiritual.
Tegasnya menulis puisi dalam konteks apa pun pada dasarnya adalah membekukan pengalaman,
untuk kemudian dikomunikasikan kembali dalam bentuk-bentuk pengalaman yang baru setelah
melewati berbagai tahap kontemplasi, meski sesaat. Pengalaman di atas misalnya, melahirkan
larik-larik puisi seperti di bawah ini:
adakah kau dengar guguran daun
saat hujan turun
kupu-kupu terbang entah ke mana
langit pekat dan hitam
atau puisi di bawah ini:
kau dengar getar daun gugur di atas tanah berlumpur
saat hujan turun, saat kupu-kupu terbang entah kemana
saat langit pekat dan hitam, saat rinduku
berdebur dan berdebur selalu menerjang hatimu
Perhatikan puisi yang kedua, di dalam puisi tersebut pada larik pertamanya ada variasi rima
akhir, yang pertama rima ar pada diksi dengar dan getar serta rima ur pada gugur dan
lumpur. Paduan dari variasi rima itu menghasilkan ritma, yakni unsur-unsur bunyi yang
berlagu, yang tentunya enak untuk divokalkan, seperti kau dengar getar daun gugur di atas
tanah berlumpur.
Tentu saja tidak selamanya dan tidak seharusnya pula larik-larik puisi itu ditulis dengan
cara yang demikian, maksudnya pada setiap lariknya rimbun dengan rima dan ritme. Bisa juga
tidak. Yang penting dalam menulis puisi saat ini adalah bagaimana gagasan itu
dikomunikasikan dan diekspresikan dengan baik. Dengan demikian menulis puisi bukan semata-
mata peristiwa bahasa saja, yakni permainan diksi, lambang, simbol, dan sebagainya. Di
dalamnya ada juga seperangkat nilai-nilai yang dipertaruhkan, seperti puisi di bawah ini:
Berjalan di Belakang Jenazah
berjalan di belakang jenazah angin pun reda
jam mengerdip
tak terduga betapa lekas
siang menepi, melapangkan jalan dunia
di samping, pohon demi pohon menundukkan kepala
di atas: matahari kita, matahari itu juga
jam mengambang di antaranya
tak terduga begitu kosong waktu menghisapnya
Sumber pengalaman yang ditulis oleh penyair Sapardi Djoko Damono dalam puisi tersebut,
jelas bermuara pada pengalaman si aku lirik ketika imengantar jenazah seseorang untuk
dikuburkan. Sapardi lewat puisi tersebut berupaya menghadirkan kembali apa yang dialaminya
itu dengan pilihan kata-kata yang begitu personal sifatnya. Ini artinya, ia mampu menemukan
wilayah pengucapannya yang khas, yang berbeda dengan para penyair lainnya, meski dalam
kesempatan yang sama boleh jadi mempunyai pengalaman yang sama pula dalam hal mengantar
jenazah ke tanah kubur.
Dalam titik yang demikianlah Sapardi merekonstruksi kembali berbagai pengalaman spiritual
yang dialaminya ketika dirinya mengantar jenazah saat itu. Ketika pengalaman itu disajikan
dalam puisi yang ditulisnya, pengalaman tersebut terasa segar dalam ingatan kita. Kesegaran
semacam ini hanya akan bisa lahir -- bila kita benar-benar menguasai kosa dan bahasa dengan
baik. Demikian pula puisi di bawah ini:
Dingin Tak Tercatat
Dingin tak tercatat
pada termometer
Kota hanya basah
Angin sepanjang sungai
mengusir, tapi tetap saja
di sana. Seakan-akan
gerimis raib
dan cahaya berenang
mempermainkan warna.
Tuhan, mengapa kita bisa
bahagia?
1971
Latar dari penciptaan puisi tersebut tentunya bersumber pada pengalaman Goenawan mengembara
di negeri orang, khususnya di musim dingin, entah di Eropa atau di Amerika. Pada musim
dingin, kota memang basah, boleh jadi oleh hujan, baik berupa salju maupun air. Tanpa
mengalami hal yang demikian -- sangatlah mustahil Goenawan bisa mengekspresikan pengalaman
batinnya sejernih itu.
Jadi peka terhadap suasana bisa juga diekspresikan dengan model penulisan puisi semacam
itu. Dan dasar dari segala dasar penulisan puisi yang harus dikuasai oleh seorang penyair
adalah peka terhadap suasana, baik yang ada di dalam maupun di luar dirinya. Sebuah
pengalaman yang terus menguntit saya, sepeninggal Nenek saya tercinta, Oneng Rohana
dipanggil Allah SWT pada tahun 1976, adalah semacam ini yang saya tulis dalam sebuah puisi
pada tahun 1977, dengan kalimat-kalimat yang sederhana, seperti di bawah ini:
Tembang
Kau yang hidup dalam ingatanku
adalah tembang yang tak pernah selesai
dilantunkan angin sepanjang waktu
Kau yang memberi arah dalam hidupku
adalah petikan kecapi, alun suling,
lagu yang tak pernah sirna di dalam kalbuku
1977
Oneng Rohana, Nenek tercinta, pada zamannya adalah seorang guru tembang Sunda cianjuran.
Apa yang saya tulis dalam puisi tersebut adalah semacam kenangan terhadap dirinya, yang
hingga kini tidak bisa pupus dalam ingatan saya. Pendeknya, lepas dari semua itu apa pun
bentuknya, pengalaman yang menggoda batin kita itu, yang terus memburu jiwa kita hingga
gelisah karenanya – adalah sumber bagi penulisan puisi. Dengan demikian maka jelas sudah
bahwa menulis puisi bukan semata-mata peristiwa imajinasi belaka, atau sesuatu yang
dibayangkan terjadi. Ia adalah kejadian itu sendiri, yang kemudian kita susun kembali
menjadi sebuah dunia yang baru. Prof. Dr. A. Teeuw menyebutnya sebagai dunia rekaan.
Demikian pula Prof. Dr. Sapardi Djoko Damono mengatakan yang sama.
Bayang-bayang maut yang terus memburu saya, yang tiada hentinya memburu diri saya dalam
situasi yang sunyi dan sepi sepeninggal Nenek saya itu – terus berkelebat dengan berbagai
variasinya yang lain. Ketika saya mendapat kesempatan mengikuti Festival de Winternachten
di Den Haag, Belanda pada tahun 1999 lalu bersama penyair Rendra, Agus R. Sardjono dan
Nenden Lilis A, di sana saya dihadapkan pada sebuah pengalaman yang baru, yang untuk
pertamakalinya bersentuhan dengan salju, dengan dingin udara Eropa, dan juga rasa anggur
(wine) yang harus diteguk secara perlahan-lahan dengan penuh perasaan. Ketika saya
berhadapan dengan udara yang dingin, serta hamparan salju yang memutihkan jalan-jalan,
genting rumah, dan ranting pepohonan yang gugur daun itu, terasa begitu akrab maut menyapa.
Pengalaman semacam itu menyebabkan saya menulis puisi di bawah ini:
Tepi Salju Tepi Waktu
sesenyap batu
di dasar kali yang beku
maut membayang
di hatiku. “Hangatkan
tubuhmu dengan segentong
anggur,” katanya, sebelum
jam kehilangan bunyi
di tepi waktu
di tepi salju
1999
**
APA yang dikemukakan dalam tulisan di atas, diakui atau tidak lebih menekankan jiwa kita
pada suasana-suasana tertentu yang digali dari pengalaman batin sang penyair yang bersumber
pada keindahan sekaligus kemurungan alam dengan segala misteri yang dikandungnya. Untuk
itu, dalam penulisan puisi yang lain tidaklah demikian. Apa yang dinamakan metafor dalam
penulisan puisi kali ini mempunyai peran yang sangat menentukan: akan berhasil tidaknya
sebuah puisi ditulis.
Ketika seorang penyair tengah menggunakan metafor dalam puisi yang ditulisnya, maka ia
tidak sedang mengomunikasikan pengalaman batinnya secara umum, yang tanda-tandanya bisa
dikenali oleh orang lain. Ia justru sedang berekspresi sekaligus berkomunikasi dengan cara
yang tidak lazim. Misalnya, seseorang pada sebuah malam berjalan di sebuah taman dan
kemudian telunjuknya diarahkan kepada seorang perempuan sambil berkata, “itu kupu-kupu
malam,” maka jelas yang dimaksud oleh kata-kata tersebut tidak membuktikan bahwa wanita itu
adalah kupu-kupu sebagaimana yang sering kita lihat di siang hari.
Yang dimaksud dengan kupu-kupu malam di situ, adalah pelacur. Ungkapan ini memang sudah
basi. Meski pun begitu, dalam rangkaian kata tersebut makna tidak nampak pada apa yang
dituliskan, melainkan pada apa yang berada di belakang tulisan.. Nah, di dalam puisi yang
akan kita bicarakan kali ini adalah metafor yang tidak dikenali umum, sesuatu yang khusus,
yang mempribadi, yang hanya terbuka dan mencair maknanya tergantung pada seberapa jauh si
pembacanya bisa menafsir apa yang dibacanya tadi. Misalnya dari sebuah pengalaman yang
sukar dilupakannya, si fulan mengungkapkan pengalaman batinnya dalam sebuah puisi yang
ditulisnya seperti ini:
adakah kau dengar guguran daun hatiku
saat hujan turun,
kupu-kupu terbang entah kemana
langit gelap dan hitam
Sekalipun unsur-unsur yang membangun puisi tersebut hampir sama dengan puisi sebelumnya
yang berbunyi,
adakah kau dengar guguran daun
saat hujan turun
kupu-kupu terbang entah ke mana
langit gelap dan hitam
ternyata secara esensial mengandung makna dan lokasi peristiwa yang berbeda. Puisi kedua,
yang dalam satu lariknya dibangun oleh sepilihan kata yang berbunyi: guguran daun hatiku,
adalah metafor, sekaligus kata kunci yang harus tafsir oleh pembaca puisi tersebut. Puisi
di atast lebih mengungkapkan persoalan-persoalan psikologis, tegasnya lebih mengolah ruang
dalam (rohani) yang hendak dikomunikasikannya pada orang lain.
Dalam menyusun metafor, dalam hal ini, dalam menyusun dua atau tiga suku kata dalam satu
kalimat, seperti guguran daun hatiku, teks dan konteks yang hendak kita ekspresikan itu
harus saling mendukung dan bukannya saling bertolak belakang. Dalam puisi yang demikian
bahasa figuratif kadang hadir pula di dalamnya. Kita perhatikan puisi di bawah ini. Jalinan
metafor yang dirangkainya dalam puisi ini, terasa surealistik, sebuah dunia yang tidak ada
di sini dan bahkan di sana, namun demikian kita berada di dalamnya, di sana dan di sini
sekaligus.
Usia
Sebuah pulau
Memutih di rambut malam
Keajaiban musim tanpa suara
Terpahat di keheningan
Langit tembaga
Keagungan hujan
Dengan sulur-sulur cahayanya
Tersimpan jauh di lautan
Arus besar tanpa riak
Gema tanpa sahutan
Mengendap
Di kedalaman
Waktu
Abad-abad angin
Tahun-tahun kabut
Malam-malam murni
Antara kelahiran
Dan kejatuhan
Kita telanjang
Menghuni pulau karang
2002
Kata-kata aneh apakah yang terdapat dalam puisi tersebut? Tidak ada. Semuanya adalah kata-
kata yang kita kenali dalam kehidupan kita sehari-hari. Semuanya terasa kental, liat, dan
bahkan tidak umum, hal ini disebabkan karena Acep zamzam Noor demikian intens dalam
mengolah ruang dalam batin (rohani)-nya dengan baik. Semua itu bisa dikerjakan dengan penuh
daya pikat karena Acep telah mengerahkan sedemikian rupa daya kepekaannya terhadap denyut
kehidupan yang ada di sekitar dirinya.
Acep Zamzam Noor tidak akan mampu menulis larik Keagungan hujan/ Dengan sulur-sulur
cahayanya, kalau ia dalam kehidupan sehari-hari tidak pernah memperhatikan peristiwa hujan
poyan, yakni matahari tetap bersinar di saat hujan, sebuah peristiwa alam yang sangat
langka.
Saya tidak sedang membicarakan makna dari dua larik puisi tersebut. Saya sedang menelusuri
dari mana datangnya pilihan diksi yang demikian itu, kalau si penyairnya tidak peka
terhadap apa yang terjadi di sekitar dirinya. Pendek kata apapun model dan bentuk
pengucapan sebuah puisi yang ditulis oleh si penyairnya, hal yang utama dari semua itu
adalah adanya kematangan penghayatan terhadap berbagai pengalaman hidup yang ditempuh oleh
Acep Zamzam Noor secara sungguh-sungguh.
Berkait dengan itu, bahasa puisi apa pun bentuknya bersifat plastis, mampu mengakomodasikan
berbagai dimensi makna, baik yang tersirat maupun tersurat. Sejak awal baris-baris puisi
tersebut jalin-menjalin membentuk metafor, seperti pada larik puisi yang berbunyi: Sebuah
pulau/ memutih di rambut malam// yang mengisyaratkan menuanya kehidupan manusia di muka
bumi, yang antara lain ditandai dengan munculnya uban yang serba putih itu. Lepas dari itu,
perhatikan puisi lainnya di bawah ini:
Di Luar Mimpi
Kelak jiwaku yang dalam
Tak punya lagi bayangan jika berjalan
Di bawah matahari atau terang lampu;
Jiwaku adalah sinar itu sendiri
Pada baris dan bait puisi yang kau tulis
Akan kau kenal dengan baik suaraku;
Bagaimana aku menembang juga menimbang
Kesepian, kesunyian, juga kesendirian
Jadi larik-larik hujan yang turun sore hari
Dengan amat lembutnya. Larik-larik itu diam-diam
Menumbuhkan benih kerinduan dalam dadamu
Padaku. Lalu bagai dentang lonceng pagi
Kesepian, kesunyian, dan kesendirian: tanpa ragu
Mengguncang ranjangmu dari balik jendela
1997
Pengalaman psikologis macam apakah yang melatari dua buah puisi di atas ditulis? Secara
tidak langsung dalam dua puisi di atas ada benang merah yang sama, yakni penghayatan atas
kematian, kesepian, kesunyian, dan juga kesendirian. Tentu saja dalam menulis puisi, tidak
hanya tema-tema yang demikian saja yang disajikan oleh penyairnya. Tema yang mencoba
mengungkap dan bahkan membongkar tentang apa yang diduganya sia-sia itu, diungkap dengan
cara yang memikat oleh Goenawan Mohamad dalam puisinya yang cukup terkenal, yang ditulisnya
seperti di bawah ini:
Kwatrin Tentang Sebuah Poci
Pada keramik tanpa nama itu
kulihat kembali wajahmu
Mataku belum tolol ternyata
untuk sesuatu yang tak ada
Apa yang berharga pada tanah liat ini
selain separuh ilusi
sesuatu yang kelak retak
dan kita membikinnya abadi
1973
Apakah keramik yang dimaksud oleh Goenawan itu benar-benar keramik yang biasa kita lihat?
Jawabnya, mungkin ya, dan mungkin tidak. Tetapi yang jelas, puisi tersebut mengandung
banyak makna, dikarenakan jalinan vokal dan konsonan yang disusunnya tidak umum ditulis
orang, demikian juga dengan pertanyaan yang diajukannya. Tanpa ada penghayatan terhadap
keramik, dan sesuatu yang dibentuk dan dikerjakan oleh si senimannya terhadap segumpal
tanah liat yang dijadikan keramik di tangannya, jelas puisi yang demikian tidak akan lahir
dari tangan Goenawan.
Ini artinya, sekali lagi, Goenawan tidak melahirkan puisinya yang demikian itu dari ruang
batin yang kosong. Akan tetapi dalam mengolah daya kreatifnya itu, ia justru berangkat dari
ruang batin yang penuh dengan pengalaman, yang setelah diseleksinya sedemikian rupa
lahirlah puisi tersebut. Contoh-contoh puisi di atas hanya sebagian kecil dari begitu
banyaknya ragam puisi yang ditulis orang yang bercorak demikian. Untuk itu beragam pula
definisi tentangnya. ***
Sumber : www.publiksastra.co.cc