Halaman

Minggu, 06 November 2011

Burungku Sedang Sakit

Garudaku kini tak lagi tajam menatap, kepak sayapnya pun tak segagah dulu.
Cakarnya yg kokoh kini mulai rapuh, tak mampu lagi menggenggam secarik tulisan itu.
Orang-orang pun perlahan memalingkan wajah darimu, kini gambarmu pun tak lagi menghiasi setiap rumah mereka.
Janganlah bersedih hai garudaku, kau masih ada disetiap hati berjuta-juta rakyatmu yang sejak dulu tak pernah merasakan kemakmuran dan keadilan dari negeri yang kaya akan sumber daya alam ini.
Mari kita tunjukkan pada dunia bahwa, sebenarnya kita mampu...!!!!
Biar mereka tahu bahwa sesungguhnya masyarakat yang adil dan beradab itu adalah kita. Bukan Mereka, bukan pula barat atau timur. Sesungguhnya yang mereka tunjuk barat itu adalah timur terjauh dan barat yang kita agung-agungkan adalah timur terjauh juga. masihkah kita bangga akan barat? sedangkan mereka selalu membunuh siapapun yang menguak kebenaran karena sesungguhnya mereka takut kejahatannya pun akan terkuak pula setelahnya. Seperti nasib seorang galileo yang mati hanya karena membuktikan bahwa dunia ini bulat yang sesungguhnya bila kita menelusuri jalan ke arah barat kita akan kembali ke timur. seperti lingkaran dimana titik awal sama dengan titik akhir.
Bila saja negeri yang makmur ini mau pelit mereka akan kelaparan baik itu eropa maupun amerika, terlebih afrika. Sejarah mencatat sejak dulu negeri ini telah menjadi ajang perebutan bangsa-bangsa kapitalis dan imperialis karena mereka berusaha menguasai sumber daya alam yang tak ada duanya di belahan dunia manapun. Sejak tahun 1800-an hingga kini mereka masih ingin menjajah bangsa ini dengan dalih apapun...!!!
lihat saja sekeliling kita mereka telah menancapkan kuku-kuku mereka di Malaysia, Singapura, Philipina, Australia bahkan Timor Leste yang dahulu bagian dari negeri ini kini telah mereka kuasai. Sebaiknya kita kembali memaknai dalam-dalam arti dari "Bhineka Tunggal Ika" dan mulai mengaplikasikan ke bentuk yang nyata dalam hidup kita.
Bukankah para pendiri republik ini mengatakan "Proklamasi kemerdekaan hanyalah sebuah jembatan dari kemerdekaan yang sesungguhnya yaitu kerakyatan yang adil, makmur dan sejahtera" kemerdekaan yang sesungguhnya belum kita raih. Kemerdekaan yang masih jauh dari harapan dan impian para pejuang yang telah gugur demi mempertahankan bangsa ini dari para penjajah. Kini, jembatan yang telah dibangun mulai rapuh dan goyang dimakan zaman. Kini kita semua ikut merapuhkan jembatan itu secara perlahan dan pasti tanpa kita sadari dengan mengalihkan wajah kita yang tak mengetahui bahwa burung kita sedang sakit komplikasi yang takkan kita ketahui hanya dengan memandang gambarnya yg terlihat masih kokoh.
Didadanya pun masih menempel erat simbol-simbol kekayaan negeri ini yang sedang digerogoti oleh kaum kapitalis dari dalam sehingga kita hanya menyaksikan luarnya saja yg utuh sedang dalamnya telah keropos.
Penjajah itu telah berganti wajah dengan menggunakan sebagian pribumi yang mau dijadikan kedok bagi keserakahan perbuatan mereka.
Kini mereka sedang mencoba melerai huruf per-huruf dari kalimat sakti yang selama ini dipegang erat genggaman cakarnya yg tajam....
Burungku semoga kau cepat sembuh........

Selasa, 31 Mei 2011

Beragam Ide Penulisan Cerpen

Semua orang pasti pernah membaca sebuah cerpen. Anda dapat menemukan cerpen di media cetak,

seperti koran dan majalah. Bahkan, Anda memiliki sebuah buku kumpulan cerpen dari pengarang

yang menjadi idola Anda.
Bagi sebagian orang, membaca cerpen memang merupakan bagian dari kegiatan dalam mengisi

waktu luang atau santai. Akan tetapi, pernahkah terbesit dalam hati Anda untuk menulis

cerpen sendiri?
Menulis memang sebuah kegiatan yang susah-susah gampang. Apalagi dalam menulis cerpen.

Salah satu kendala dalam menulis cerpen adalah menentukan ide penulisan cerpen (ide

cerita). Ide cerita untuk menulis cerpen sangat banyak. Ide itu bisa Anda dapatkan dalam

sekali duduk. Anda dapat menemukan ide melalui cara-cara berikut ini.

Pengalaman Pribadi
Ide penulisan cerpen dapat diambil dari pengalaman pribadi. Coba ingat-ingat kembali

pengalaman yang pernah Anda alami. Pengalaman masa kecil atau pengalaman setelah dewasa,

baik pengalaman yang menyenangkan maupun yang menyedihkan.
Bisa juga dengan pengalaman unik dan lucu yang pernah Anda alami. Misalnya, Anda salah

memakai kostum saat menghadiri acara pesta pernikahan atau acara-acara resmi lainnya.

Kemudian, untuk menutupi rasa malu, Anda melakukan sebuah tindakan yang bisa menutupi rasa

malu Anda.

Pengalaman Orang Lain
Seperti halnya pengalaman pribadi, pengalaman orang lain dapat dijadikan ide penulisan

cerpen. Coba Anda tanya orang-orang terdekat, seperti saudara atau teman, apakah mereka

memiliki pengalaman yang unik, lucu, menyedihkan, atau menyenangkan. Kadang, pengalaman

orang lain lebih menarik atau lebih tragis daripada pengalaman pribadi atau sebaliknya.

Peristiwa di Sekitar
Coba amati lingkungan sekitar Anda, seperti di rumah, tetangga, jalan raya, lapangan bola,

pasar, sekolah, kantor, dan lain-lain. Ide kadang muncul dari hal-hal kecil yang sederhana.

Namun, dari ide kecil tersebut dapat berkembang menjadi sebuah cerita yang luar biasa.
Dengan mengamati lingkungan sekitar, Anda sekaligus dapat mengamati berbagai karakter

orang. Hal ini berguna untuk menentukan watak atau karakter tokoh yang ada dalam cerpen.

Coba Anda amati bagaimana karakter seorang guru, pedagang bakso, dan lain-lain.

Menuangkan Ide
Setelah ide penulisan cerita ditentukan, mulailah menulis. Apa yang harus pertama ditulis?
Tuliskanlah kata pertama yang ada di pikiran Anda yang berkaitan dengan ide cerita.

Tuliskan saja apa yang ada di pikiran Anda apa adanya. Jangan takut salah dengan susunan

kalimat, yang penting Anda mampu menuliskan satu paragraf terlebih dahulu. Tuliskan apa

yang Anda ingat saat peristiwa atau pengalaman itu terjadi. Tuliskan rangkaian demi

rangkaian peristiwa yang pernah Anda alami.
Setelah mampu menuliskan rangkaian peristiwa, coba Anda tentukan siapa tokoh dan bagaimana

karakternya. Apakah tokoh yang ada dalam cerita itu Anda atau orang lain?
Biasanya, tokoh dalam sebuah cerpen tidak banyak, bahkan bisa hanya ada satu tokoh. Kenali

tokoh utama dengan baik. Munculkan karakter tokoh dengan watak biasa atau luar biasa sesuai

dengan kebutuhan dalam cerita. Watak tokoh bisa bersifat protagonis atau antagonis.

Meskipun ide penulisan cerpen diambil dari kisah nyata Anda atau orang lain, Anda bebas

menentukan atau mengubah cerita selanjutnya.
Selanjutnya, munculkan konflik yang akan dihadapi tokoh. Buatlah konflik dalam sebuah

cerpen yang sederhana dan ringan. Jika perlu, berikan kejutan-kejutan menarik dalam

konflik. Akhiri cerita dengan ending yang mengejutkan pula agar cerita yang Anda buat

berkesan bagi pembaca.
Tentunya, kemampuan setiap orang berbeda dalam meramu sebuah ide cerita. Salah satu cara

terbaik agar mampu meramu ide cerita menjadi sebuah cerpen adalah dengan banyak berlatih

dan berlatih.
Lakukan langkah tersebut terus menerus agar Anda terbiasa menulis. Semakin rajin Anda

berlatih, keterampilan menulis Anda akan terasah dengan baik. Untuk gaya penulisan, Anda

dapat meniru atau belajar dari pengarang cerpen yang terkenal. Selanjutnya, Anda harus

memiliki gaya penulisan sendiri yang bisa menjadi ciri khas Anda dalam penulisan cerpen.

Tips menuangkan ide penulisan cerpen dari pengalaman pribadi atau kisah nyata

    * Pilih pengalaman atau kisah nyata yang paling berkesan.
    * Pilih bagian penting dari pengalaman atau kisah tersebut.
    * Gali dan kembangkan bagian tersebut sesuai selera Anda.
    * Munculkan kejutan-kejutan menarik.
    * Menulislah dengan santai tanpa beban.

Selamat mencoba!

sumber; http://www.anneahira.com/

Langkah-Langkah Menulis Cerpen

Setiap kali hendak melakukan sesuatu, Anda pasti membutuhkan rencana dan menyiapkan

langkah-langkah tertentu. Hendak memasak, misalnya. Pertama-tama Anda harus mempunyai

rencana, apa yang akan dimasak. Tanpa rencana akan memasak apa, bisa-bisa Anda hanya akan

kebingungan di dapur.


Demikian juga jika Anda ingin menulis cerpen. Beberapa penulis memang bisa langsung menulis

cerpen tanpa persiapan apa-apa. Biasanya penulis seperti ini sudah mempunyai jam terbang

yang tinggi dan memiliki disiplin dalam menulis.
Pada penulis seperti ini, langkah-langkah menulis cerpen seolah sudah menjadi bagian tak

terpisahkan dari dirinya. Keluar dan mengalir begitu saja. Akan tetapi, untuk sampai pada

tingkatan itu membutuhkan jam terbang dan disiplin yang tinggi dalam menulis.


Bagaimana jika Anda termasuk penulis pemula? Bagaimana jika Anda sering mengalami kesulitan

untuk menulis? Adakah langkah-langkah menulis cerpen yang dapat diikuti?


Langkah-langkah Menulis Cerpen
Berminat menulis cerpen? Mari mulai menelisik langkah-langkah menulis cerpen,

    * Siapkan tema
      Anda bisa memilih tema persahabatan, percintaan, misteri, dan lain-lain. Menulis

tanpa berpegang pada satu tema bisa-bisa hanya akan membuat Anda duduk kebingungan di depan

komputer dan membuang waktu dengan percuma.

    * Tentukan jenis cerpenCerpen seperti apa yang ingin ditulis? Cerpen horor, komedi,

drama, romantis, misteri, religi, atau drama komedi? Jika sejak awal Anda sudah menentukan

akan membuat cerpen komedi, misalnya, fokuslah untuk menulis cerpen yang benar-benar lucu,

bukan lucu yang nanggung.

    * Tentukan segmenPastikan dulu apakah Anda akan menulis cerpen anak, remaja, atau

dewasa. Menulis cerpen untuk anak-anak jelas tak sama dengan menulis cerpen untuk remaja,

apalagi untuk dewasa.

    * Tentukan tokohSiapa yang akan menjadi tokoh utama dalam cerpen Anda? Siapkan nama-

nama tokoh utama dan beri karakter untuk setiap tokoh utama.

    * Tentukan konflikCerpen tanpa konflik tentu akan hambar, tak ada gregetnya. Jadi,

siapkan konflik. Konflik ini bisa muncul di tengah-tengah cerita, bisa pula langsung

menggebrak di awal cerita.

    * Tentukan penyelesaian (ending) ceritaKalau kata grup band Armada, "Mau dibawa ke mana

hubungan kita...".  Begitu juga dengan menulis cerpen. Mau dibawa ke mana cerpen yang akan

Anda tulis? Ke akhir yang bahagia (happy ending), akhir yang menyedihkan (sad ending), atau

akhir yang menggantung (hanging ending)?

    * Tentukan judulJangan lupa, pilih judul yang singkat namun dapat menggambarkan isi

cerpen yang ditulis. Tak masalah jika Anda menentukan judul ini belakangan atau bahkan

ketika cerpen telah selesai ditulis. Tapi ingat, jangan sampai melakukan kesalahan fatal

dengan tidak mencantumkan judul cerita!

Langkah-langkah menulis cerpen yang juga penting adalah menentukan majalah yang menjadi

sasaran. Langkah ini perlu diambil jika Anda berencana mengirimkan cerpen ke majalah,

karena setiap majalah memiliki style dan segmen pembaca yang khas.

sumber: http://www.anneahira.com/

Dasar-Dasar Menulis Esai

Menulis sebuah esai atau makalah, tanpa mempedulikan topiknya, adalah sebuah proses:

Bangun dan definisikan topikmu
Tuliskan tema atau topik utama esaimu dalam satu atau dua kalimat paling banyak.

    * Tentukan pembaca esaimu
      Apakah yang membaca esaimu adalah dosen yang memberi nilai atau asisten dosen?
      Teman sekelasmu yang akan memberikan kritikan?  Sekelompok profesional untuk review?
      Sekelompok profesional untuk review?
       Ingatlah akan pembaca ini selama kamu menulis esai
    * Rencanakan kurun waktu
      Buat suatu kurun waktu penulisan esai, dan antisipasi adanya perkembangan topik

esaimu dan revisi.  Seringkali suatu esai yang sempurna adalah esai yang direvisi setelah

selesai dibuat.
    * Kumpulkan bahan-bahan
      Orang: dosen, asisten dosen, pustakawan, ahli dalam bidang, profesional
      Referensi:  buku teks, rekomendasi kerja, web site, majalah, buku harian, laporan

profesional
    * Riset: baca, wanwancara, eksperimen, kumpul data-data, dll. dan catat selengkap

mungkin. Gunakan kartu indek atau word processing.
    * Organisasi catatanmu dengan menulis dahulu di kertas lain:
      fokus pada bebas menulis, petaan, and/atau garis besarnya.
    * Buatlah esai pertamamu (rough draft)
      Tentukan bagaimana kamu mengembangkan argumentasi: Gunakan logika yang baik dalam

argumentasi untuk membantu mengembangkan tema dan/atau mendukung tema. Apakah kamu akan

membuat perbandingan atau definisi? Apakah kamu akan mengfritik atau menjelaskan? Lihat

definisi istilah-istilah esai di situs Pedoman Belajar.

Paragraf pertama

    * Kenalkan topikmu!
    * Beritahukan pandanganmu kepada pembaca!
    * Rangsang pembaca menyelesaikan membaca esaimu!
    * Fokuskan pada tiga poin untuk kemudian

Paragraf pertama biasanya paling sulit dikerjakan.  Bila kamu menemui masalah, biarkanlah

dan usahakan untuk menulisnya ulang nanti, bahkan setelah kamu selesai mengerjakan paragraf

terakhir.  Akan tetapi perlu diingat bahwa paragraf pertamalah yang menarik perhatian

pembaca ke topik dan pendapatmu, serta penting untuk membuat mereka membaca esaimu sampai

selesai.he first paragraph is often the most difficult to write.
Isi Esai

    * Bangunlah alur isi esai dari satu paragraf ke paragraf yang lainnya

        * Kalimat transisi, klausa, atau kata-kata pada awal paragraf menghubungkan ide

pikiran ke ide lainnya.(Lihatlah kata & frasa transisi)
        * Kalimat-kalimat pokok, juga terdapat pada awal setiap paragraf, menjelaskan ide

yang termuat di dalamnya sesuai dengan konteks esai keseluruhan.
        * Hindari satu atau dua paragraf yang mungkin menunjukkan kurang dikembangkannya

poinmu.

    * Tulis dengan kalimat-kalimat aktif


        * "Panitia Akademis memutuskan ..." bukan "Telah diputuskan oleh ..."
        * Hindari pemakaian kata kerja "menjadi" untuk presentasi yang jelas, dinamis dan

efektif.
          (Hindari pemakaian kata kerja "menjadi" dan presentasimu efektif, jelas dan

dinamis.)
        * Menghindari "menjadi" berarti penggunaan kalimat pasif akan berkurang.

    *   Gunakan kutipan untuk mendukung pandanganmu


        * Kutiplah dan jelaskan secara tepat setiap ungkapan yang dipakai.
        * Gunakan kutipan dengan gaya blok atau indented secara terpisah karena mereka

dapat merusak alur isi esaimu.

    * Buktikan setiap poin pendapatmu secara berkesinambungan dari awal sampai akhir esai

        * Jangan meninggalkan fokus utama esaimu.
        * Jangan langsung meringkas pada isi esaimu.  Tunggu sampai pada paragraf

kesimpulan.

Kesimpulan

    * Baca paragraf pertama dan isi esaimu dulu
    * Ringkas, kemudian simpulkan argumentasimu
    * Tinjau kembali (sekali lagi) pada paragraf pertama sekaligus isi esai.  Apakah

paragraf terakhir:

        * menyatakan ulang tema utama secara singkat?
        * merefleksikan keberhasilan dan pentingnya argumentasi yang ada pada isi esai?
        * menyimpulkan isi esai secara logika?

Edit/tulis ulang paragraf pertama
Hal ini dapat membuat isi dan kesimpulan esaimu lebih baik.
Ambil satu atau dua hari libur!

    Baca kembali esaimu dengan pikiran yang segar dan pensil yang runcing
    Edit, koreksi dan tulis ulang bila diperlukan
    Kumpulkan esaimu
    Rayakan pekerjaan yang telah kamu selesaikan dengan baik (kamu harus percaya ini!).
    Kalimat terakhir di atas ini sangat penting.

(Sebagian diadaptasi dengan ijin dari K. Austin Kerr, Some Tips on Writing Papers for

History Courses, Ohio State University.)

Kata & Frasa Transisi
Menggunakan kata dan frasa transisi menunjukkan hubungan antar ide dan membuat makalah

mudah dimengerti.

Makalah yang idenya saling berkaitan memudahkan pembaca mengikuti dari poin pertama sampai

terakhir.
Transisi menunjukkan hubungan, baik dari kalimat yang satu ke kalimat yang lain, atau dari

paragraf yang satu ke paragraf yang lain.  Hal ini memang tampak seperti daftar "hubungan"

yang mungkin dimiliki oleh ide-ide yang ada, diikuti oleh daftar kata dan frasa "transisi"

yang mana menghubungkan ide-ide tersebut.

Tambahan:
juga, di samping itu, selanjutnya, sebagai tambahan, lagipula, lagi
Akibat:
demikian, hasilnya, akibatnya, jadi, kalau tidak, maka, oleh karena itu, demikianlah,

setelah itu
Ringkasan:
bagaimanapun, bagaimanapun juga, setelah dipertimbangkan semuanya, singkatnya, ringkasnya,

sebagai penutup, pada umumnya, akhirnya, jelasnya
Penyamarataan:
sesuai peraturan, biasanya, seperti biasanya, umumnya, pada umumnya, kebanyakan
Uraian baru:
pada intinya, dengan kata lain, yakni, yaitu, singkatnya, ringkasnya
Perbedaan dan perbandingan:
bedanya, begitu pula, sebaliknya, malahan, demikian juga, di satu sisi, pada sisi lainnya,

agaknya, sama halnya, tetapi, akan tetapi, bagaimanapun juga, namun
Rangkaian:
mula-mula, awalnya, pada awalnya, permulaannya, pada waktu yang sama, mulai sekarang, untuk

sementara ini, selanjutnya, saat ini, berikutnya, nantinya, sementara itu, kemudian,

segera, sebelumnya, sesudahnya, secara serentak, sebagai penutup
Pengalihan:
omong-omong, sambil lalu
Ilustrasi:
misalnya, contohnya, seperti
Persamaan:
demikian juga, sama dengan, lagipula
Arahan:
di sini, di sana, melebihi, hampir, berhadapan, di bawah, di atas, ke kiri, ke kanan, di

kejauhan sana

Esai yang terdiri dari lima paragraf sering digunakan sebagai tes untuk melihat kemampuan

menulis seseorang dalam jangka waktu tertentu.
Memulai berarti mengorganisasi dulu:
latihan merupakan faktor yang vital untuk menulis secara efektif.

Analisa Tugas
dan tentukan mana yang diperlukan. Dengan spidol warna, tandai kata-kata penting yang

mewakili topik esai, kemudian organisasikan rencanamu.
Misalnya kamu diberi tugas esai seperti ini:

    Kamu mendapatkan hadiah yang sangat berkesan. Hadiah ini mungkin diberikan untuk

memperingati peristiwa khusus atau diberikan tanpa alasan sama sekali. Jelaskan tentang

hadiah tersebut dan mengapa sangat berkesan. Berikan alasan-alasannya, deskripsi hadiah,

dan bagaimana perasaanmu ketika menerimanya.

Tujuan tugas ini adalah untuk menulis sebuah esai naratif tentang hadiah yang kamu terima.
Subyeknya tentang hadiah yang berkesan
Tiga subtopik utamanya:

    * alasan hadiah ini diberikan
    * deskripsi hadiah
    * dan bagaimana perasaanmu ketika menerimanya

Kerangka Karangan Lima Paragraf

Esaimu akan terdiri dari elemen-elemen berikut:

Paragraf Pembukan
Kalimat Topik Utama::   hadiah yang berkesan
Subtopic Pertama: alasan hadiah diberikan
Subtopic Two: deskripsi hadiah
Subtopic Three: perasaanmu ketika menerimanya
(Transisi)
Paragraf Isi Pertama
Tulis ulang Subtopik Pertama
Detil-detil yang mendukung/contoh
Transisi
   
Paragraf Isi Kedua
Tulis ulang Subtopik Kedua
Detil-detil yang mendukung/contoh
Transisi
   
Paragraf Isi Ketiga
Tulis ulang Subtopik Ketiga
Detil-detil yang mendukung/contoh
Transisi
Paragraf Penutup/Ringkasan
Sintesa dan kesimpulan esai dengan menyebutkan ulang topik serta subtopiknya.

Tulislah esainya!
Pikirkan yang kecil dulu, baru kemudian bangunlah esai tersebut setahap demi setahap.
Pisahkan esaimu menjadi bagian-bagian dan kembangkan secara terpisah.

Paragraf Pembuka

    * Paragraf pembuka menetapkan nada.
      Paragraf ini tidak hanya mengenalkan topik esai, tapi juga tempat di mana kamu akan

mulai (dengan kalimat topik utama).  Bila kamu menulis paragraf pembuka dengan baik, kamu

akan mengajak pembaca merasakan "pengalaman"mu.  Berusahalah yang terbaik untuk paragraf

ini, maka kamu akan mendapatkan hasil positifnya.
    * Tuliskan dalam bentuk kalimat aktif.
      Kalimat aktif terasa lebih kuat pengaruhnya.  Gunakan ini pada setiap kalimat dalam

paragraf pembukamu.  Kecuali bila kamu menulis esai naratif pribadi, hindari penggunaan

kata ganti orang pertama "Saya".
    * Variasikan struktur kalimat.
      Baca ulang paragrafmu dan hindari pola menulis yang menjemukan misalnya dengan selalu

memulai dengan subyek kalimat.
    * Cari ilham untuk ide-ide pendukung yang terbagus.
      Ide-ide tersebut merupakan hal yang kamu ketahui dengan benar.  Bila kamu tidak

memiliki pengetahuan tentang mereka, kamu tidak dapat menulis dengan baik tentang mereka

juga.  Hindari penggunaan argumen yang sia-sia karena akan melemahkan argumenmu.
    * Latihlah dirimu untuk menulis paragraf pembuka dengan topik yang bervariasi.
      Bahkan bila kamu akan menggunakan mereka, mereka dapat dibandingkan dengan tipe esai

yang kamu sedang kerjakan sekarang.  Kamu akan senang/puas melihat adanya kemajuan dalam

kemampuan menulismu.


Paragraf Isi


    * Gunakan transisi untuk mengembangkan subtopik.
      Setiap paragraf harus berhubungan satu sama lainnya.
    * Tuliskan kalimat pokok pikiran.
      Transisi bisa juga diikutkan dalam kalimat tersebut.
    * Ide-ide pendukung, contoh dan detil haruslah spesifik.
      Kecenderungan yang terjadi dalam paragraf isi adalah biasanya keinginan untuk

memasukkan segalanya.  Hindarilah ini.  Apa yang sudah kamu tulis di atas lengkap dengan

contoh dan detil sudah cukup membantumu untuk tetap fokus.
    * Variasikan struktur kalimat.
      Hindari pencantuman kata ganti benda dan daftar yang berulang-ulang.
      Hindari penggunaaan pola kalimat pembuka yang sama (subyek + kata kerja + obyek

langsung).

Paragraf Penutup/Ringkasan
Bagian ini merupakan paragraf yang sulit untuk ditulis secara efektif.  Kamu tidak dapat

mengasumsikan bahwa pembacamu dapat melihat poinmu.

    * Tulis ulang secara ringkas paragraf pembuka.  Jangan langsung dikopi begitu saja

keseluruhan paragrafnya.
    * Ringkaslah argumenmu dengan sehingga paragraf penutup ini akan membuat pembacamu

tidak akan meragukan logika kesimpulanmu.
    * Berpengaruhlah karena paragraf ini membawa pendapatmu yang terakhir kepada pembaca.

 Edit dan Perbaiki Esaimu

    * Periksalah struktur tata bahasa dan ejaanmu.
      Telitilah subyek, kata kerja dan keterangan waktu yang kamu gunakan.
    * Periksa keseluruhan esaimu dengan logika.
      Apakah setiap pokok pikiran berkembang dan berhubungan?
      Hindari jurang dalam logika, atau hindari penggunaan terlalu banyak detil.

Review kalimat per kalimat

    * Gunakan kata kerja aktif.
      Hindari penggunaan kalimat pasif dan kata kerja berawalan "di-".
    * Gunakan frasa dan kata transisi.
      Hindari kalimat yang diawali dengan kata ganti benda, atau susunan kalimat seperti

"Adalah ..."
      Misalnya: "Adalah perlu untuk memeriksa ulang semua pekerjaan" yang diganti dengan

"Memeriksa pekerjaan itu penting."
    * Langsung pada intinya.
      Walaupun panjang dan struktur kalimat kamu variasikan.

Tanyalah pada teman yang berpengetahuan banyak untuk mereview dan mengomentari esaimu dan

untuk mengungkapkan ulang isi esaimu.   Kamu mungkin akan terkejut.
Diadaptasi dan direvisi dengan ijin dari: Kasper, J. The Five Paragraph Essay, 14 January,

1999, http://www.geocities.com/SoHo/Atrium/1437/index.html.

Sumber akses : http://www.studygs.net/
        www.publiksastra.co.cc

Menulis Esai

Langkah-langkah membuat Esai

 1. Memilih Topik
Bila topik telah ditentukan, anda mungkin tidak lagi memiliki kebebasan untuk memilih.

Namun demikian, bukan berarti anda siap untuk menuju langkah berikutnya.

Pikirkan terlebih dahulu tipe naskah yang akan anda tulis. Apakah berupa tinjauan umum,

atau analisis topik secara khusus? Jika hanya merupakan tinjauan umum, anda dapat langsung

menuju ke langkah berikutnya. Tapi bila anda ingin melakukan analisis khusus, topik anda

harus benar-benar spesifik. Jika topik masih terlalu umum, anda dapat mempersempit topik

anda. Sebagai contoh, bila topik tentang “Indonesia” adalah satu topik yang masih sangat

umum. Jika tujuan anda menulis sebuah gambaran umum (overview), maka topik ini sudah tepat.

Namun bila anda ingin membuat analisis singkat, anda dapat mempersempit topik ini menjadi

“Kekayaan Budaya Indonesia” atau “Situasi Politik di Indonesia. Setelah anda yakin akan apa

yang anda tulis, anda
bisa melanjutkan ke langkah berikutnya.

Bila topik belum ditentukan, maka tugas anda jauh lebih berat. Di sisi lain, sebenarnya

anda memiliki kebebasan memilih topik yang anda sukai, sehingga biasanya membuat esai anda

jauh lebih kuat dan berkarakter.

 2. Tentukan Tujuan
Tentukan terlebih dahulu tujuan esai yang akan anda tulis. Apakah untuk meyakinkan orang

agar mempercayai apa yang anda percayai? Menjelaskan bagaimana melakukan hal-hal tertentu?

Mendidik pembaca tentang seseorang, ide, tempat atau sesuatu? Apapun topik yang anda pilih,

harus sesuai dengan tujuannya.

3. Tuliskan Minat Anda
Jika anda telah menetapkan tujuan esai anda, tuliskan beberapa subyek yang menarik minat

anda. Semakin banyak subyek yang anda tulis, akan semakin baik. Jika anda memiliki masalah

dalam menemukan subyek yang anda minati, coba lihat di sekeliling anda. Adakah hal-hal yang

menarik di sekitar anda? Pikirkan hidup anda? Apa yang anda lakukan? Mungkin ada beberapa

yang menarik untuk dijadikan topik. Jangan mengevaluasi subyek-subyek tersebut, tuliskan

saja segala sesuatu yang terlintas di kepala.


4. Evaluasi Potensial Topik

Jika telah ada bebearpa topik yang pantas, pertimbangkan masing-masing topik tersebut. Jika

tujuannya mendidik, anda harus mengerti benar tentang topik yang dimaksud. Jika tujuannya

meyakinkan, maka topik tersebut harus benar-benar menggairahkan.

Yang paling penting, berapa banyak ide-ide yang anda miliki untuk topik yang anda pilih.
Sebelum anda meneruskan ke langkah berikutnya, lihatlah lagi bentuk naskah yang anda tulis.

Sama halnya dengan kasus dimana topik anda telah ditentukan, anda juga perlu memikirkan

bentuk naskah yang anda tulis.

5. Membuat Outline
Tujuan dari pembuatan outline adalah meletakkan ide-ide tentang topik anda dalam naskah

dalam sebuah format yang terorganisir.

Tujuan dari pembuatan outline adalah meletakkan ide-ide tentang topik anda dalam naskah

dalam sebuah format yang terorganisir.

       1. Mulailah dengang menulis topik anda di bagian atas
       2. Tuliskan angka romawi I, II, III di sebelah kiri halaman tersebut, dengan jarak

yang cukup lebar diantaranya
       3. Tuliskan garis besar ide anda tentang topik yang anda maksud:

            * Jika anda mencoba meyakinkan, berikan argumentasi terbaik
            * Jika anda menjelaskan satu proses, tuliskan langkah-langkahnya sehingga dapat

dipahami pembaca
            * Jika anda mencoba menginformasikan sesuatu, jelaskan kategori utama dari

informasi tersebut

       1. Pada masing-masing romawi, tuliskan A, B, dan C menurun di sis kiri halaman

tersebut. Tuliskan fakta atau informasi yang nformasi yang mendukung ide utama

6. Menuliskan Tesis
Suatu pernyataan tesis mencerminkan isi esai dan poin penting yang akan disampaikan oleh

pengarangnya. Anda telah menentukan topik dari esai anda, sekarang anda harus melihat

kembali outline yang telah anda buat, dan memutuskan poin penting apa yang akan anda buat.

Pernyataan tesis anda terdiri dari dua bagian:

        * Bagian pertama menyatakan topik. Contoh: Budaya Indonesia, Korupsi di Indonesia

        * Bagian kedua menyatakan poin-poin dari esai anda. Contoh: memiliki kekayaan yang

luar biasa, memerlukan waktu yang panjang untuk memberantasnya, dst.

7. Menuliskan Tubuh Esai
Bagian ini merupakan bagian paling menyenangkan dari penulisan sebuah esai. Anda dapat

menjelaskan, menggambarkan dan memberikan argumentasi dengan lengkap untuk topik yang telah

anda pilih. Masing-masing ide penting yang anda tuliskan pada outline akan menjadi satu

paragraf dari tubuh tesis anda.

Masing-masing paragraf memiliki struktur yang serupa:

        * Mulailah dengan menulis ide besar anda dalam bentuk kalimat. Misalkan ide anda

adalah: “Pemberantasan korupsi di Indonesia”, anda dapat menuliskan: “Pemberantasan korupsi

di Indonesia memerlukan kesabaran besar dan waktu yang lama”

        * Kemudian tuliskan masing-masing poin pendukung ide tersebut, namun sisakan empat

sampai lima baris.

        * Pada masing-masing poin, tuliskan perluasan dari poin tersebut. Elaborasi ini

dapat berupa deskripsi atau penjelasan atau diskusi

        * Bila perlu, anda dapat menggunakan kalimat kesimpulan pada masing-masing

paragraf.

        * Setelah menuliskan tubuh tesis, anda hanya tinggal menuliskan dua paragraf:

pendahuluan dan kesimpulan.

8. Menulis Paragraf Pertama

        * Mulailah dengan menarik perhatian pembaca.

        * Memulai dengan suatu informasi nyata dan terpercaya. Informasi ini tidak perlu

benar-benar baru untuk pembaca anda, namun bisa menjadi ilustrasi untuk poin yang anda

buat.

        * Memulai dengan suatu anekdot, yaitu suatu cerita yang menggambarkan poin yang

anda maksud. Berhati-hatilah dalam membuat anekdot. Meski anekdot ini efektif untuk

membangun ketertarikan pembaca, anda harus menggunakannya dengan tepat dan hati-hati.

        * Menggunakan dialog dalam dua atau tiga kalimat antara beberapa pembicara untuk

menyampaikan poin anda.

        * Tambahkan satu atau dua kalimat yang akan membawa pembaca pada pernyataan tesis

anda.

        * Tutup paragraf anda dengan pernyataan tesis anda.

9. Menuliskan Kesimpulan

Kesimpulan merupakan rangkuman dari poin-poin yang telah anda kemukakan dan memberikan

perspektif akhir anda kepada pembaca. Tuliskan dalam tiga atau empat kalimat (namun jangan

menulis ulang sama persis seperti dalam tubuh tesis di atas) yang menggambarkan pendapat

dan perasaan anda tentang topik yang dibahas. Anda dapat menggunakan anekdot untuk menutup

esai anda.

10. Memberikah Sentuhan Akhir

        * Teliti urutan paragraf Mana yang paling kuat? Letakkan paragraf terkuat pada

urutan pertama, dan paragraf terlemah di tengah. Namun, urutan tersebut harus masuk akal.

Jika naskah anda menjelaskan suatu proses, anda harus bertahan
          pada urutan yang anda buat.

        * Teliti format penulisan. Telitilah format penulisan seperti margin, spasi, nama,

tanggal, dan sebagainya

        * Teliti tulisan. Anda dapat merevisi hasil tulisan anda, memperkuat poin yang

lemah. Baca dan baca kembali naskah anda.

        * Apakah masuk akal? Tinggalkan dulu naskah anda beberapa jam, kemudian baca

kembali. Apakah masih masuk akal?

        * Apakah kalimat satu dengan yang lain mengalir dengan halus dan lancar? Bila

tidak, tambahkan bebearpa kata dan frase untuk menghubungkannya. Atau tambahkan satu

kalimat yang berkaitan dengan kalimat sebelumnya

        * Teliti kembali penulisan dan tata bahasa anda.


Struktur Sebuah Esai

Pada dasarnya, sebuah esai terbagi minimum dalam lima paragraf:

        * Paragraf pertama: Dalam paragraf ini penulis memperkenalkan topik yang akan

dikemukakan, berikut tesisnya. Tesis ini harus dikemukakan dalam kalimat yang singkat dan

jelas, sedapat mungkin pada kalimat pertama. Selanjutnya pembaca diperkenalkan pada tiga

paragraf berikutnya yang mengembangkan tesis tersebut dalam beberapa sub topik.

        * Paragraf kedua sampai kelima: Ketiga paragraf ini disebut tubuh dari sebuah esai

yang memiliki struktur yang sama. Kalimat pendukung tesis dan argumen-argumennya dituliskan

sebagai analisa dengan melihat relevansi dan relasinya dengan masing-masing sub topik.

        * Paragraf kelima (terakhir): Paragraf kelima merupakan paragraf kesimpulan.

Tuliskan kembali tesis dan sub topik yang telah dibahas dalam paragraf kedua sampai kelima

sebagai sebuah sintesis  untuk meyakinkan pembaca


sumber: http://www.duniaesai.com/

Sekitar Menulis, Menulis Sekitar

Oleh M.D. Atmaja 

   “Aku bertanya,
    tetapi pertanyaanku
    membentur jidat penyair-penyair salon,
    yang bersajak tentang anggur dan rembulan,
    sementara ketidakadilan terjadi di sampingnya
    dan delapan juta kanak-kanak tanpa pendidikan
    termangu-mangu di kaki dewi kesenian”
    (WS Rendra, Sajak Sebatang Lisong dalam Potret Pembangunan dalam Puisi, hlm. 34)

Begitu kerasnya tulisan Rendra (Almarhum) memekik di telinga saya malam ini. Puisi yang

begitu cerpen merespon realitas dalam nuansa yang terkadang berbisik memberikan teguran

(khususnya untuk saya sendiri), terkadang berteriak keras dalam tamparan yang membangunkan

dari keterlelapan sesaat. Dua kekuatan yang menjadikan saya sebagai “subjek pembaca”

tersadar dari mimpi indah yang gemerlap menipu. Juga kemudian “subjek pembaca” untuk keluar

dari ekstase pertemuan kertas dan tinta yang melepaskan alam sekitar. Sekali lagi, di sini

saya sebagai “subjek pembaca” berusaha memahami kembali setelah sekian tahun bertahan dalam

keringnya panas dan basahnya hujan, untuk terus giat menulis sesuatu mengenai “manusia” dan

dunianya.

Hal yang paling indah dari spesies kita ini (maksud saya adalah manusia) adalah sebagai

makhluk yang mampu meng-“ada” untuk terus bereksistensi dan berkembang di dunia. Salah satu

faktor penting dalam proses ini adalah keberadaan bahasa, yang tidak sekedar sebagai alat

komunikasi dan sekaligus penindasan. Bahasa juga memberikan manusia suatu lingkup mengenai

keberadaan yang sifatnya nyata, serta memberi ruang lingkup dalam usaha pengembangan diri.

Dengan bahasa manusia mampu menunjukkan kesan dan kenyataan, yaitu mana yang hanya

mengesankan dan mana yang benar-benar menunjukkan kenyataan. Dan keduanya dapat didapati

dalam dataran realitas melalui penggunaan bahasa, seperti ungkapan Heidegger bahwa bahasa

sebagai rumah (tempat) dari peng- “ada”.

Manusia adalah spesies berbahasa, melakukan interaksi secara langsung dan juga tidak

langsung. Salah satu interaksi tidak langsung manusia ialah menggunakan media tulisan, yang

melahirkan adanya subjek pembaca dan penulis. Media ini memberikan ruang untuk kita dalam

usaha saling memahamkan, selain itu mampu menjadi penjembatan antara dunia batin (hati dan

pikiran) dengan dunia realitas. Tuhan Semesta Alam pun, berbahasa kepada kita sebagai

sebagian dari komunikasi religius, sehingga kita tahu apa yang Dia harapkan dari manusia.

Manusia, alam, hewan, serta Tuhan Semesta Alam berbahasa dengan cara tersendiri. Pun,

ketika kita memulai dunia di dalam tulisan, dunia yang kita bentuk dengan bahasa, itu

adalah cara kita sendiri. Sebatas cara dalam berbahasa, mungkin juga sebagai teknik (saya

agak trauma dengan istilah “teknik”), yang dapat membawa kita pada wilayah komunikasi yang

lebih luas. Ketika kita subjek penulis membuat sebuah tulisan, meskipun dalam kadar tidak

ilmiah atau tidak memberikan kesan kuat (seperti tulisan ini), akantetapi kita sedang

membangun komunikasi dari berbagai sisi.

Komunikasi yang pertama adalah komunikasi diri kita dengan diri kita sendiri. Maksudnya

adalah sisi perenungan mengenai sesuatu hal yang hendak dituliskan. Subjek penulis

melakukan aktivitas kontemplasi, percakapan yang ada di dalam diri untuk mencapai suatu

esensi yang ingin di sampaikan. Aktivitas menulis merupakan aktivitas membangun komunikasi,

baik komunikasi dengan diri sendiri maupun komunikasi dengan subjek pembaca. Aktivitas yang

memanifestasikan buah dari pikir, rasa, akhirnya karsa, yang menjalin hubungan silaturahmi

(bahkan persaudaraan) antara penulis, karya, dan pembaca.

Selayaknya suatu hubungan yang wajar, persaudaraan walau dengan bermedia tulisan, alangkah

baiknya kalau subjek penulis melaksanakan aktivitasnya dilandasi dengan kejujuran, memilih

bahasa yang baik dan tetap menjaga etika. Untuk masalah ini, saya memiliki suatu pandangan

yang tidak baru, bahwa etika dalam kepenulisan adalah sebagai “keberanian” untuk mengatakan

dengan tegas: mana yang benar dan mana yang salah. Gerakan etika yang dengan sendirinya

akan melahirkan nilai estetika (keindahan) tersendiri. Sehingga, saya tetap memegang

prinsip kepenulisan yang secara garis besar saya golongkan menjadi tiga hal: kejujuran,

pemilihan bahasa yang baik, dan etika penulisan.

Kejujuran, prinsip yang sengaja saya letakkan di depan, sebab pengalaman saya mengarahkan

pada aspek ini. Kejujuran yang ketika kita menulis, kita tidak sedang menutupi sesuatu

mengenai kebenaran, entah itu kebenaran yang sifatnya personal dan lebih jauh lagi bersifat

universal. Kejujuran dalam menulis, sama seperti kita sedang menulis buku harian. Dalam

penulisan itu kita pasti jujur, karena buku harian bersifat personal dan hanya untuk diri

kita sendiri. Masak iya, dalam menulis sebagai pelepas keresahan hati, kita justru

berbohong yang pada akhirnya menambah keresahan itu. Lantas, ketika menulis tidak dengan

jujur, misalnya kita ingin membuat suatu kebohongan, siapa gerangan yang akan kita bohongi?

Proses kepenulisan yang dilandasi dengan kejujuran sikap, dimanifestasikan ke dalam bahasa

tulis melalui perasaan yang jujur pula dalam memanifestasikan cinta, kemarahan, kebencian

dan lain sebagainya. Aktivitas yang membawa pada kelegaan “dan engkau akan selalu menjumpai

dirimu sendiri di sana/ bersih dan telanjang tanpa asap dan tirai yang bernama rahasia”

(Penyair, Sapardi Djoko Damono, Tonggak 2, hlm. 408-409). Melalui tulisan yang diciptakan

sendiri, manusia dapat mencapai pengetahuan mengenai diri, selanjutnya akan mengantarkan

subjek penulis pada kebijaksanaan. Sebab, dalam keyakinan saya, kebijaksanaan akan muncul

ketika manusia (individu) memiliki pengetahuan tentang dirinya sendiri, dan pemahaman akan

keberadaan diri dapat ditemukan di dalam tulisan yang kita tulis. “Dan engkau pun masuk,

untuk mengenal dirimu sendiri di sana” (ibid).

Untuk mengenal diri sendiri, menjadi landasan bagi pengetahuan lain. Tulisan membawa kita

pada kesempatan yang spesial ini, kesempatan untuk mengenal diri sendiri. Bahkan, filsuf

Descartes sampai meragukan setiap hal demi mendapatkan pengetahuan akan diri atau “ada”

yang merujuk pada kesadaran manusia itu sendiri. Langkah mencapai pengetahuan diri melalui

tulisan dilandasi oleh kejujuran hati ketika subjek penulis melakukan aktivitasnya. Unsur

kontemplasi yang menyertai dialog dengan dirinya sendiri dan perlu terbuka dengan dirinya

sendiri sebab di sana tidak ada keuntungannya ketika dimulai dengan kebohongan, karena toh,

kita hanya akan membohongi diri kita sendiri.

Lebih jauh lagi ketika subjek penulis menggunakan tulisannya sebagai media interaksi sosial

dengan subjek lain (pembaca). Kegiatan interaksi menjadikan kejujuran dalam menulis berada

pada posisi yang penting. Ini menyatakan adanya hubungan sesama manusia, bermediumkan

bahasa tulis memberikan kesan tersendiri. Dalam batasan ini, masih sejauh memberikan

“kesan” kepada subjek pembaca. Apalagi ketika kita menyatakan diri diketika kita subjek

penulis bersepakat dengan diri bahwa: menulis sebagai bentuk dari ibadah kepada Tuhan

Semesta Alam. Pertanyaannya, apa kita akan beribadah dengan “kejujuran” atau “tidak

kejujuran” bukankah Tuhan Semesta Alam hanya akan menerima yang baik-baik saja?

Kejujuran yang kita sampaikan melalui hasil dari aktivitas menulis, hendaknya juga disertai

dengan cara penuturan yang baik. Pemanifestasian dari rasa, meskipun untuk mewakili

kebencian dan kemaraha, alangkah “bijak” kalau disampaikan dengan bahasa yang baik.

Pemilihan bahasa yang tepat, yang sebelumnya sudah disertai dengan kejujuran, seperti yang

dikatakan Sanusi Pane: “O, bukannya dalam bahasa yang rancak/ kata yang pelik kebagusan

sajak” (Sajak, Sanusi Pane, Tonggak 1, hlm. 41). Hal ini membawa saya, ketika berperan

sebagai subjek penulis, akan lebih memilih bahasa yang sederhana, bahasa yang biasa yang

meski “mengesankan” kekakuan dan kehilangan aspek puitik. Hanya melalui tulisan yang

sederhana ini, saya berusaha agar setiap kata yang saya rangkai dapat mewakili dunia ide.

Sedang ke-“absurd”-an ide yang terkadang teramat sulit untuk diterjemahkan dengan kemampuan

berbahasa, meskipun ide sebagai hasil dari penyerapan indera atas realitas. Melalui satu

kesempatan berbahasa, ada usaha untuk memanifestasikan ide tersebut sehingga, keberadaan

dari ide dapat terpahami.

Mengkomunikasikan ide melalui tulisan kepada subjek pembaca, meskipun dengan bahasa yang

sederhana, di dalamnya tetap mengandungi unsur komunikasi estetis yang dilahirkan dari

pengalaman estetis pula. Menulis dengan apa adanya, dapat dijadikan sebagai suatu pilihan

atau (katakan saja) teknik menulis.

Berlaku apa adanya tetap menjadi pilihan yang membutuhkan keberanian. Tulisan dengan gaya

yang biasa dan pemilihan kata yang lumrah akan mudah dipahami, karena subjek pembaca mudah

menangkap maksud penulisan yang akhirnya membuat tulisan itu akan mudah “dihakimi”. Jikalau

setelah kita menulis dengan jujur, lantas kita membacanya ulang, pasti, tulisan tadi justru

menggurui kita. Menggurui tentang banyak hal yang terkadang, maknanya sering subjek penulis

lupakan.

Menulis, seharusnya bisa mengajari kita mengenai keberanian dalam bersikap. Ketika kita

melihat adanya kesewenangan dan penindasan, lebih jauh lagi mengenai ketidak-adilan sosial

secara hukum dan lain sebagainya, kita pun harus berani bersikap. Meski akan membawa pada

kesengsaraan, karena tulisan yang dihasilkan dapat mengajari kita untuk mengatakan:

“TIDAK!” (Emha Ainun Najib, Sajak Luka Menganga dalam Sesobek Buku Harian Indonesia, hlm.

103-104).

Dengan keberanian itu, pun langsung teringat dengan film “Master and Commander” yang tokoh

utamanya Kapten Jack Aubrey (HMS Surprisse) ketika memburu Acheron kapal Prancis, Kapten

Jack mengatakan: “Whatever the cost!” dalam menjalankan tugasnya. Dan tugas seorang subjek

penulis: “berdiri dan bersaksi di pinggir” seperti yang diungkapkan Linus Suryadi dalam

sajaknya berjudul “Penyair” atau untuk “bergerak menulis pamplet, mempertahankan kehidupan”

seperti Almarhum Rendra dalam puisinya berjudul: “Nota Bene: Aku Kangen”?

    Inilah sajakku.
    Pamplet masa darurat.
    Apakah artinya kesenian,
    Bila terpisah dari derita lingkungan.
    Apakah artinya berpikir,
    Bila terpisah dari masalah kehidupan.
    (WS Rendra, Sajak Sebatang Lisong dalam Potret Pembangunan dalam Puisi, hlm. 34)

Bantul – Studio SDS Fictionbooks, Selasa Wage, 22 Maret 2011.
http://md-atmaja-id.blogspot.com

Senin, 30 Mei 2011

Membangkitkan Motivasi dan Menyusun Strategi Menulis Yang Baik

Estu Pitarto

Ketika memberikan semacam semiloka tentang kegiatan menulis, saya lebih suka berbagi

pengalaman menulis ketimbang memberikan teori atau pelbagai peraturan tentang menulis.

Meskipun saya tahu persis bahwa sebuah pengalaman—jika diwacanakan—akan muncul bangunan

sebuah teori atau peraturan. Tetapi, teori atau peraturan tersebut—yang muncul dari

pengalaman—tidak akan mengerangkeng atau memutlakkan sesuatu. Dengan berbagi pengalaman,

saya ingin sekali pengalaman menulis saya tersebut dapat dipakai sebagai pijakan seseorang

untuk menemukan teori atau peraturan yang cocok dengan diri orang yang ingin memanfaatkan

pengalaman menulis saya.

Sesungguhnya tidak ada masalah ketika seseorang mengikuti sebuah teori atau peraturan

menulis yang diciptakan oleh seseorang. Teori dan peraturan jelas amat bermanfaat untuk

memandu diri kita agar dapat belajar dan berlatih menulis sesuai dengan standar atau

patokan yang benar. Namun, saya sering mendapati kenyataan ini—bahkan saya sediri pernah

mengalaminya—bahwa sebuah teori kemudian membatasi kebebasan diri kita. Teori tersebut

seakan-akan memberikan kita alarm bahwa jika kita tidak menjalankan kegiatan menulis sesuai

petunjuk teori tersebut, kita akan tidak mampu menulis dengan benar. Akan jelas sekali

bahwa jika ketika kita mengikuti teori menulis yang seperti ini, kita pun kemudian akan

tidak berdaya ketika menjalankan kegiatan menulis.

Dalam kesempatan ini, saya ingin menunjukkan kepada Anda bagaimana saya membangkitkan

motivasi untuk, secara kontinu dan konsisten, dapat setiap hari berlatih menulis. Saya

memahami sekali bahwa menulis itu sebuah keterampilan—sama persis dengan keterampilan

menyetir mobil, berenang, memasak, menendang bola, dan sebagainya. Artinya, jika kita ingin

menguasai dengan baik keterampilan menulis, tentulah kita harus rajin dan bersemangat

tinggi dalam berlatih menulis. Memang, banyak rintangan dan godaan dalam berlatih menulis.

Salah satunya adalah mengatasi rasa malas dan bagaimana terus mengobarkan semangat dan

gairah untuk menulis. Nah, saya biasa menggunakan AMBAK (Apa Manfaatnya Bagiku?) untuk

senantiasa mengobarkan semangat dan gairah menulis.

Ketika memberikan semacam semiloka tentang kegiatan menulis, saya lebih suka berbagi

pengalaman menulis ketimbang memberikan teori atau pelbagai peraturan tentang menulis.

Meskipun saya tahu persis bahwa sebuah pengalaman—jika diwacanakan—akan muncul bangunan

sebuah teori atau peraturan. Tetapi, teori atau peraturan tersebut—yang muncul dari

pengalaman—tidak akan mengerangkeng atau memutlakkan sesuatu. Dengan berbagi pengalaman,

saya ingin sekali pengalaman menulis saya tersebut dapat dipakai sebagai pijakan seseorang

untuk menemukan teori atau peraturan yang cocok dengan diri orang yang ingin memanfaatkan

pengalaman menulis saya.

Sesungguhnya tidak ada masalah ketika seseorang mengikuti sebuah teori atau peraturan

menulis yang diciptakan oleh seseorang. Teori dan peraturan jelas amat bermanfaat untuk

memandu diri kita agar dapat belajar dan berlatih menulis sesuai dengan standar atau

patokan yang benar. Namun, saya sering mendapati kenyataan ini—bahkan saya sediri pernah

mengalaminya—bahwa sebuah teori kemudian membatasi kebebasan diri kita. Teori tersebut

seakan-akan memberikan kita alarm bahwa jika kita tidak menjalankan kegiatan menulis sesuai

petunjuk teori tersebut, kita akan tidak mampu menulis dengan benar. Akan jelas sekali

bahwa jika ketika kita mengikuti teori menulis yang seperti ini, kita pun kemudian akan

tidak berdaya ketika menjalankan kegiatan menulis.

Dalam kesempatan ini, saya ingin menunjukkan kepada Anda bagaimana saya membangkitkan

motivasi untuk, secara kontinu dan konsisten, dapat setiap hari berlatih menulis. Saya

memahami sekali bahwa menulis itu sebuah keterampilan—sama persis dengan keterampilan

menyetir mobil, berenang, memasak, menendang bola, dan sebagainya. Artinya, jika kita ingin

menguasai dengan baik keterampilan menulis, tentulah kita harus rajin dan bersemangat

tinggi dalam berlatih menulis. Memang, banyak rintangan dan godaan dalam berlatih menulis.

Salah satunya adalah mengatasi rasa malas dan bagaimana terus mengobarkan semangat dan

gairah untuk menulis. Nah, saya biasa menggunakan AMBAK (Apa Manfaatnya Bagiku?) untuk

senantiasa mengobarkan semangat dan gairah menulis. ( Hernowo )
 dari:  http://lorongedukasi.wordpress.com/

Semua Orang Bisa Jadi Penulis Hebat

Oleh: Joni Lis Efendi

“Cerita-cerita memiliki kekayaan yang melebihi kenyataannya. Tulisan saya mengetahui lebih

banyak daripada saya. Yang harus dilakukan seorang penulis adalah mendengarkan bukunya. Ia

akan membawamu ke tempat yang tidak kamu duga.”
Modeleine L’engle
(Penulis novel A Wrinkle in Time)

Siapa saja memiliki peluang sama besarnya dengan J.K. Rowling, Stephen King, John Grisham,

Habiburrahman El-Shirazy, Asma Nadia, Budi Dharma, Seno Gumira Ajidarma, Gus TF Sakai,

Andrea Hirata, Afifah Afra, dan sebagainya, untuk jadi penulis beken. Nggak butuh rumus

nyelimet, teori kusut-masai, harus jadi pengelana bertahun-tahun untuk dapatin segudang

pengalaman, kalo cuma pengen menulis sebuah novel hebat atau cerpen yang keren. Karena

semuanya sudah ada dalam pikiran kita. Sesuatu yang teramat dekat, bukan?

Perkaranya hanya satu, bisa atau nggak dia nulis apa yang sudah ada dalam batok kepalanya

itu menjadi sebuah karya yang memikat. Kamu mungkin pernah membaca novel dari pengalaman

hidup penulisnya langsung, seperti novel-novelnya NH Dini, Pipiet Senja, dan yang lagi

banyak dibicarakan orang sekarang tetralogi Laskar Pelangi-nya Andrea Hirata, yang hampir

90 persen adalah pengalaman hidup penulisnya. Karya-karya mereka itu begitu mengagumkan dan

penuh pesona yang mampu menggetarkan dada orang-orang yang membacanya. Padahal mereka ini

hanyalah orang-orang biasa, bahkan mungkin nggak lebih hebat dari publik figur yang

bertitel selebritis yang saban hari kita tongkrongin wajahnya di layar kaca.

Tapi penulis-penulis hebat itu mampu menuliskan perjalanan hidupnya menjadi jalinan cerita

yang apik memikat. Novel yang mereka tulis itu terasa lebih hidup, penuh pesona, indah dan

terasa lekat dengan diri si pembaca. Inilah nilai lebih kreativitas. Dan, kamu pun bisa

melakukan hal yang sama, atau bahkan bisa lebih hebat lagi dari mereka.

Banyak orang yang menyimpan obsesi pengen jadi penulis tersohor (top, beken, nomor wahid

se-Indonesia kapan perlu bisa ngalahin J.K. Rowling) setelah melihat betapa enak dan

mapannya kehidupan penulis yang karyanya booming. Sayangnya, mereka cuma melihat kulit

luarnya saja. Mereka cuma lihat sisi enaknya saja jadi seorang penulis yang terkenal. Tapi

malas untuk berdarah-darah mengasah kemampuan menulisnya. Celakanya lagi, mereka menutup

mata dan mati-matian membela diri kalo novel merekalah yang terbaik, nggak ada satu pun

yang boleh dikoreksi, titik. Tapi nyatanya, novel itu biasa-biasa saja nggak ada nilai

lebihnya. Buktinya, belum terbit-terbit juga.

Mereka itu seperti katak dalam tempurung berlumut. Nggak mau jujur, atau mungkin takut,

untuk melihat realita yang ada, bahwa nyata-nyatanya karya mereka itu memang masih “jelek”.

Mereka juga menulis itu-itu aja dengan gaya yang datar-datar aja; klise, norak, ngebosanin,

dan mutar-mutar kayak komedi putar. Singkatnya, mereka bukan penulis yang kreatif,

bisanyanya cuma “mengitik” alias mengekor saja karya yang best seller.

Aneh bin nyebalin, mereka nggak mau dikasih saran apalagi dikoreksi. Aduh, bagaimana cara

menghadapi orang kayak gini?
Ke laut aja kali ya…

Dalam pikiran penulis-penulis malas plus nggak kreatif itu, nulis ya nulis. Nggak usah

capek-capek bikin gaya baru, tema baru, tokoh yang aneh-aneh, biasa-biasa sajalah. Capek,

kan kalo bikin novel yang ceritanya aneh-aneh gitu.

Ya, emang harus mau capek kalo pengen jadi penulis beken. Kamu bisa baca bagaimana

kegigihan J.K. Rowling memelihara ide besarnya untuk menulis kisah Harry Potter, yang

diancang-ancangnya bakal jadi 7 serial, selama lima tahun. Dia nggak buru-buru untuk

menulis novelnya, tapi dengan kreatif mencari menulis diskripsi tokoh-tokoh ceritanya

dengan begitu detail. Rowling juga mengakui karakter tokoh dalam Harry Potter banyak

terilhami dari orang-orang yang ada di sekitarnya. Yang patut dicontoh, Rowling nggak

menulis karakter tokoh ceritanya itu dengan gaya yang biasa-biasa saja. Dia menambahkan

ide-ide baru yang menyegarkan, meledak-ledak dan menggairahkan sehingga pembacanya nggak

enek membacanya.

Pikiran yang meledak-ledak dan penuh kejutan itulah yang bernama kreativitas. Inilah yang

dikatakan Bruner dalam bukunya “Toward a Theory of Instruction”, tentang makna sederhana

dari kreativitas sebagai kejutan efektif. Hasil dari olahan kreativitas itu dapat berupa

barang, atau gagasan, yang mengejutkan karena berbagai kemungkinan. Misalnya sesuatu yang

baru, belum pernah ada, belum pernah terpikirkan, unik, khas, dan lain sebagainya. Sesuatu

itu dikatakan efektif karena berbagai kemungkinan pula, misalnya karena bermanfaat,

mempermudah kerja, memperindah, dan lain-lain.
Walau sesuatu yang baru itu menganggumkan dan penuh kejutan, tapi jika ditulis bertele-tele

juga nggak efektif. Jadinya cuma cerita asing yang sulit dicerna dan bisa bikin muntah.

Kang Abik, panggilan akrab Habiburraham El-Shirazy, yang menulis novel Ayat Ayat Cinta

(AAC) sebenarnya bukan menulis tema yang baru, yakni tentang cinta. Coba kamu bongkar lagi

koleksi novelmu kebanyakan pasti tentang tema cinta, kan? Lalu, apa kelebihannya?

Dalam AAC, kang Abik nggak terjebak dalam alur cinta picisan yang hambar dan itu-itu saja.

Ada yang segar di dalamnya, juga kejutan cerita yang tak terduga. Ditambah lagi dengan

kuatnya pesan-pesan moral yang dipertunjukkan oleh karakter tokoh ceritanya. Keindahan Kota

Cairo menjadi bingkai cerita yang turut menghadirkan kesan kuat dalam novel ini. Bagi kamu

yang sudah membaca novelnya, pasti dapat merasakan sendiri dimana letak kelebihan novel AAC

ini.

Lalu, coba kamu bandingkan dengan novel-novel epigon (yang meniru-niru) AAC, adakah sesuatu

yang baru di dalamnya? Semuanya serba pengulangan yang membosankan.
Sedangkan novel Laskar Pelangi yang ditulis Andrea Hirata, memunculkan sesuatu yang baru

tentang pendidikan, yang sangat sedikit diangkat secara total dalam sebuah karya novel.

Walau novel yang bercerita tentang pengalaman kanak-kanak, tapi Andrea Hirata mampu

menghadirkan kejutan-kejutan yang tak terduga dalam novelnya. Sehingga novel ini mampu

mengalirkan energi positif bagi pembacanya dan memberikan pencerahan yang cukup kuat.

Dikutip dari buku: Writing Donuts: Nulis itu Selezat Donat, karya Joni Lis Efendi
dari : http://menulisdahsyat.blogspot.com/

Sumber : www.publiksastra.co.cc

Teknik Membaca Puisi

1. Introduksi
Deklamasi berasal dari bahasa Latin yang maksudnya declamare atau declaim yang membawa

makna membaca sesuatu hasil sastera yang berbentuk puisi dengan lagu atau gerak tubuh

sebagai alat bantu. Gerak yang dimaksudkan ialah gerak alat bantu yang puitis, yang seirama

dengan isi bacaan.
Umumnya memang deklamasi berkait rapat dengan puisi, akan tetapi membaca sebuah cerpen

dengan lagu atau gerak tubuh juga bisa dikatakan mendeklamasi. Mendeklamasikan puisi atau

cerpen bermakna membaca, tetapi membaca tidak sama dengan maksud mendeklamasi. Maksudnya di

sini bahawa apapun pengertian membaca tentunya jauh berbeda dengan maksud deklamasi.
2. Makna Kata Deklamasi
Sudah jelas deklamasi itu berasal dari bahasa asing, jadi maknanya ia bukan kata asli

Malaysia atau Indonesia. Ia sudah lama digunakan hingga menjadi bahasa Malaysia. Memang

keadaan semacam ini sering berlaku di Malaysia, misalnya kata neraka, izin, zaman, ajal,

karam dan lain-lain berasal dari bahasa Arab, sedang tauco, tauge berasal dari bahasa

Tionghua. Manakala dastar, kenduri, kelasi berasal dari bahasa Persi. Lampu, mesin, koki,

repot dari bahasa Belanda, manakala pensil, botol berasal dari bahasa Inggeris dan

demikianlah halnya deklamasi berasal dari bahasa Latin.
Di Indonesia perkataan deklamasi sudah ada lewat tahun 1950 dan di Malaysia hanya terkenal

sejak kebelakangan ini, tetapi sebelum itu disebut baca puisi dan adapun orang mulai

mendeklamasi puisi sudah sejak berpuluh tahun yang lalu, baik di Malaysia ataupun di luar

negeri. Deklamasi ertinya membawa puisi-puisi, sedang orang yang melakukan deklamasi itu

disebut "Deklamator" untuk lelaki dan "Deklamatris" untuk perempuan.
Apa bezanya deklamasi dan nyanyi? Menyanyi ialah melagukan suatu nyanyian dengan

menggunakan not-not do-re-mi atau not balok, sedang deklamasi ialah membawakan pantun-

pantun, syair, puisi atau sajak dengan menggunakan irama dan gaya yang baik. Disamping itu

kita mengenal pula: menari, melukis, memahat, sandiwara dan lain-lain. Semuanya itu

mempunyai cara-cara dan aturannya sendiri-sendiri.
3. Bahan Yang Dideklamasikan
Tentu saja tidak semua pantun, sajak atau puisi dapat dideklamasikan, malah cerpen dan

novel juga boleh dideklamasikan/soalnya kita harus memilih mana sajak, puisi, pantun-pantun

yang baik dan menarik untuk dideklamasikan.
Kala kita menyanyi biasanya memilih lagu-lagu yang dapat kita nyanyikan, seperti "Bintang

Kecil" atau lagu-lagu yang rentaknya keroncong dan lain-lain, pokoknya semua lagu yang

telah kita nyanyikan. Bagaimana kita akan menyanyi, kalau kita tidak dapat menyanyikan

sesuatu lagu?
Demikian pula halnya dengan deklamasi. Hanya saja kalau menyanyi itu harus mempelajari

not-notnya dahulu, sedang pada deklamasi harus dipelajari tanda-tanda atau aturan-aturannya

dahulu. Seperti telah kita terangkan di atas, yang dideklamasikan itu hanya yang berupa

pantun, syair, sajak atau puisi dalam bahasa Malaysia, tetapi sejak dulu orang pernah juga

mendeklamasikan puisi dalam bahasa daerah seperti bahasa Bajau, Kadazan, Murut, Brunei,

Iban atau Dusun dan di sini hanya diperkatakan dan dipelajari deklamasi dalam bahasa

Malaysia saja.
4. Cara Berdeklamasi
Seperti telah dijelaskan bahawa berdeklamasi itu membawakan pantun, syair dan sajak atau

puisi. Kemudian apakah cukup hanya asal membawakan sahaja? Tentu tidak! Berdeklamasi,

selain kita mengucapkan sesuatu, haruslah pula memenuhi syarat-syarat lainnya. Apakah

syarat-syarat itu? Sebelum kita berdeklamasi, kita harus memilih dulu pantun, syair, sajak

apa, yang rasanya baik untuk dideklamasikan. Terserah kepada keinginan masing-masing.
Yang penting pilihlah sajak atau puisi, pantun atau syair yang memiliki isi yang baik dan

bentuk yang indah dideklamasikan. Mengenai hal isi tentunya dapat minta nasihat, petunjuk

dan bimbingan daripada mereka yang lebih berpengalaman dan berpengetahuan atau ahli dalam

bidang deklamasi.
Kalau kita sudah memilih sebuah puisi misalnya, tentu saja boleh lebih dari sebuah. Hal ini

sering terjadi dalam sayembara yang dikira harus terdiri puisi wajib dan puisi pilihan.

Nah, sesudah itu, lalu apa lagi yang harus kita perbuat? Maka tidak boleh tidak harus

mentafsirnya terlebih dahulu.
5. Menafsir Puisi
Apakah puisi yang kita pilih itu berunsur kepahlawanan, keberanian, kesedihan, kemarahan,

kesenangan, pujian dan lain-lain? Kalau puisi yang kita pilih itu mengandung kepahlawanan,

keberanian dan kegagahan, maka kitapun harus mendeklamasikan puisi tersebut dengan perasaan

dan laku perbuatan, yang menunjukkan seorang pahlawan, seorang yang gagah berani. Kita

harus dapat melukiskan kepada orang lain, bagaimana kehebatan dan kegagahan kapal udara

itu. Bagaimana harus mngucapkan kata-kata yang seram dan menakutkan.
Sebaliknya kalau saja puisi yang kita pilih itu mengadung kesedihan, sewaktu kita

berdeklamasi haruslah betul-betul dalam suasana yang sedih dan memilukan, bahkan harus bisa

membuat orang menangis bagi orang yang mendengar dan melihat kita sedih, ketika

dideklamasikan menjadi sebuah puisi yang gembira, bersukaria atau sebaliknya. Tentu saja

hal-hal seperti itu harus dijaga benar-benar. Kerana itu, harus berhati-hati, teliti,

tenang dan sungguh-sungguh dalam menafsir sebuah puisi.
Bacalah seluruh puisi itu berulang-ulang sampai kita mengerti betul apa-apa yang dikandung

dan dimaksud oleh puisi tersebut. Juga kata-kata yang sukar dan tanda-tanda baca yang

kurang jelas harus difahami benar-benar, Jika sudah dimengerti dan diselami isi puisi itu,

barulah kita meningkat ke soal yang lebih lanjut.
6. Mempelajari Isi Untuk Mendeklamasi Puisi
Cara mengucapkan puisi itu tak boleh seenaknya saja, tapi harus tunduk kepada aturan-

aturannya: di mana harus ditekankan atau dipercepatkan, di mana harus dikeraskan, harus

berhenti, dimana harus dilambatkan atau dilunakkan, di mana harus diucapkan biasa dan

sebagainya. Jadi, bila kita mendeklamasikan puisi itu harus supaya menarik, maka harus

dipakai tanda-tanda tersendiri:
------- Diucapkan biasa saja

/ Berhenti sebentar untuk bernafas/biasanya pada koma atau di tengah baris
// Berhenti agak lama/biasanya koma di akhir baris yang masih berhubungan
ertinya dengan baris berikutnya
/// Berhenti lama sekali biasanya pada titik baris terakhir atau pada penghabis
san puisi
^ Suara perlahan sekali seperti berbisik
^^ Suara perlahan sahaja
^^^ Suara keras sekali seperti berteriak
V Tekanan kata pendek sekali
VV Tekanan kata agak pendek
VVV Tekan kata agak panjang
VVVV Tekan kata agak panjang sekali
____/ Tekanan suara meninggi
____ Tekanan suara agak merendah
\

Cara meletakkan tanda-tanda tersebut pada setiap kata masing-masing orang berbeda

tergantung kepada kemahuannya sendiri-sendiri. Dari sinilah kita dapat menilai: siapa orang

yang mahir dan pandai berdeklamasi.
Demikianlah, setelah tanda-tanda itu kita letakkan dengan baik dan dalam meletakkannya

jangan asal meletakkan saja, tapi harus memakai perasaan dan pertimbangan, seperti halnya

kalau kita membaca berita: ada koma, ada titik, tanda-tandanya, titik koma dan lain-lain.
Kalau tanda-tanda itu sudah diletakkan dengan baik, barulah kita baca puisi tersebut

berulang-ulang sesuai dengan irama dan aturan tanda itu. Dengan sendirinya kalau kita sudah

lancar benar, tekanan-tekanan, irama-irama dan gayanya takkan terlupa lagi selama kita

berdeklamasi.
7. Puisi Harus Dihafal
Mendeklamasi itu ialah membawakan puisi yang dihafal. Memang ada juga orang berdeklamasi

puisi di atas kertas saja. Cara seperti itu kurang enak kecuali jika untuk siaran pembacaan

puisi di radio atau rakaman. Tetapi deklamasi itu selalu saja didengar dan ditonton orang.

Mana mungkin para penonton akan senang, melihat kita berdeklamasi kalau muka kita tertunduk

melulu terus menerus kala mendeklamasikan puisi itu. Tentu saja membosankan bukan?
Makanya sebaik mungkin deklamator harus menghafal puisi yang mahu dideklamasi itu. Caranya

ulangilah puisi itu berkali-kali tanpa mempergunakan teks, sebab jika tidak demikian di

saat kita telah naik pentas, kata-kata dalam puisi itu tak teringat atau terputus-putus.
Betapa lucunya seorang deklamator, ketika dengan gaya yang sudah cukup menarik di atas

panggung, di muka penonton yang ramai, tiba-tiba ia lupa pada kalimat-kalimat dalam puisi.

Ia seperti terhenti, terpukau, mau bersuara tak tentu apa yang harus diucapkan. Mau

mengingat-ingat secara khusuk terlalu lama. Menyaksikan keadaan demikian itu sudah tentu

para penonton akan kecewa. Bagi sideklamator sendiri akan mendapat malu. Oleh kerana itu

dihafalkanlah puisi itu sebaik-baiknya sampai terasa lancar sekali. Setelah dirasakan

yakin, bahawa sebuah puisi telah sanggup dibaca di luar kepala, barulah berlatih

mempergunakan mimik atau "action"
Cara menghafal tentu saja dengan cara mengingatnya sebaris demi sebaris dan kemudian

serangkap demi serangkap disamping berusaha untuk mengerti setiap kata/ayat yang dicatatkan

kerana hal itu menjadi jelasnya maksud dan tujuan isi puisi itu.
8. Deklamasi Bukan Ucapan Semata
Deklamasi bukan ucapan semata. Deklamasi harus disertai gerak-gerak muka, kalau perlu

dengan gerak seluruh anggota badan atau seluruh tubuh, tetapi yang paling penting sekali

ialah gerak-gerak muka. Dengan ucapan-ucapan yang baik dan teratur, diserta dengan gerak

geri muka nescaya akan bertambah menarik, apa lagi kalau ditonton. Dari gerak geri muka itu

penonton dapat merasakan dan menyaksikan mengertikan puisi yang dideklamasikan itu. Apakah

puisi itu mengandung kesedihan, kemarahan, kegembiraan dan lain-lain.
Hanya saja dalam melakukan gerak geri itu jangan sampai berlebih-lebihan seperti wayang

orang yang bergerak ke sana ke mari, sehingga mengelikan sekali. Berdeklamasi secara wajar,

tertib dan mengesankan.
9. Cara Menghakimi
Untuk mudahnya bagi seorang deklamator/deklamatris melengkapi dirinya dalam mempersiapkan

kesempurnaan berdeklamasi, maka seorang calon harus mengetahui pula hal-hal yang menjadi

penilaian hakim dalam suatu sayembara deklamasi. Yang menjadi penilaian hakim terhadap

pembawa puisi atau deklamator meliputi bidang-bidang seperti berikut:
A. Penampilan/Performance
Sewaktu pembawa puisi itu muncul di atas pentas, haruslah diperhatikan lebih dahulu hal

pakaian yang dikenakannya. Kerapian memakai pakaian, keserasian warna dan sebagainya akan

menambahkan angka bagi si pembawa puisi. Tentu saja penilaian pakaian ini bukan terletak

pada segi mewah tidaknya pakaian itu, tetapi dalam hal kepantasan serta keserasiannya.

Kerana itu, perhatikanlah pakaian lebih dahulu sebelum tampil di atas pentas. Hindarikan

diri dari kecerobohan serta ketidakrapian berdandan.
B. Intonasi/Tekanan Kata Demi Kata
Baris demi baris dalam puisi, sudah tentu tidak sama cara memberikan tekanannya. Ini

bergantung kepada kesanggupan dipembawa puisi menafsirkan tiap-tiap kata dalam hubungannya

dengan kata lainnya. Sehingga ia menimbulkan suatu pengungkapan isi kalimat yang tepat.

Kesanggupan sipembawa puisi memberikan tekanan-tekanan yang sesuai pada tiap kata yang

menciptakan lagi kalimat pada baris-baris puisi, akan memudahkan mencapai angka tertinggi

dalam segi intonasi.
C. Ekspresi/Kesan Wajah
Kemampuan sipembawa puisi dalam menemukan erti dan tafsiran yang tepat dari kata demi kata

pada tiap baris kemudian pada kelompok bait demi bait puisi akan terlihat pada kesan air

muka atau wajahnya sendiri. Ada kalanya seorang pembawa puisi tidak menghayati isi dan jiwa

tiap baris puisi dalam sebuah bait, sehingga antara kalimat yang diucapkan dan airmuka yang

diperlihatkan tampak saling bertentangan.
Jadi, penghayatan itu sangat penting dan ia harus dipancarkan pada sinar wajah si pembawa

puisi. Misalnya sebuah bait dalam puisi yang bernada sedih haruslah digambarkan oleh

sipembawa puisi itu melalui airmukanya yang sedih dan bermuram durja.
D. Apresiasi/Pengertian Puisi
Seorang pembawa puisi akan dinilai mempunyai pengertian terhadap sesuatu puisi, manakala ia

sanggup mengucapkan kata demi kata pada tiap baris puisi disertai kesan yang terlihat pada

airmukanya. Jika tidak berhasil, dikatakannya sipembawa puisi itu belum mempunyai apresiasi

atau apresiasinya terhadap puisi itu agak kurang. Dalam istilah umumnya apresiasi

diterjemah lebih jauh lagi sebagai penghayatan.
Seorang pendeklamator yang baik/ia harus menghayati makna dan isi puisi yang mahu

dideklamasikan dan tanpa menghayatinya, maka sudah tentu persembahannya bakal hambar, lesu

dan tak bertenaga.
E. Mimik/Action
Mimik atau action dalam sebuah deklamasi puisi sangat besar pengaruhnya terhadap

pembentukan suasana pembacaan puisi. Seorang pembawa puisi yang berhasil ia akan mengemukan

sesuatu action atau mimik itu sesuai dengan perkembangan kata demi kata dalam tiap baris

dan tidak bertentangan dengan jiwa dan isi kata-kata kalimat dalam puisi.
Terjadinya kontradiksi antara apresiasi dan action menimbulkan kesan yang mungkin bisa

menjadi bahan tertawaan penonton, Hal ini harus dipelajari sebaik-baiknya oleh sipembawa

puisi. Tanpa hal itu, ia tak mungkin bisa mndapatkan angka terbaik dalam pembawaan puisi.
Sebagi contoh: ketika dipembawa sajak menyebut "dilangit tinggi ada bulan" tetapi mimik

kedua belah tangan menjurus ke bumi, Hal ini akan menimbulkan bahan tertawaan bagi

penonton, mana mungkin ada bulan di bumi, tentu hal itu tidak mungkin sama sekali.

Betapapun bulan selalu ada di langit. Inilah yang dimaksud betapa pentingnya pembawa sajak

menguasai apresiasi puisi, sehingga dapat menciptakan mimik yang sesuai dengan keadaan isi

dan jiwa puisi itu.
F. Tatatertib
Untuk menambahkan lebih sempurna lagi bagi pengetahuan seorang deklamator atau deklamatris,

maka dibawa ini kita kemukakan beberapa tatatertib berdekmalasi:
F.1 Berdirilah baik-baik di atas pentas yang telah tersedia
F.2 Pakaian harus menimbulkan kesan yang menarik dan menyenangkan
F.3 Menghadap kepada penonton, memandang ke sekeliling dengan airmuka yang berseri-seri,

lalu memberi salam kepada hadirin dengan hormat, Dengan jalan menganggukkan kepala.
F.4 Bacalah jodol puisi dan sebut nama penulisnya dengan suara yang jelas/tepat dengan nada

suara yang wajar
F.5 Berhenti beberapa detik, menyiapkan nafas, lalu mulailah pembacaan deklamasi itu

sebaris demi sebaris, bait demi bait.
F.6 Selama pembacaan puisi, perhatian harus tercurah kepada puisi itu sendiri dan jangan

tergoda oleh hiruk pikuk suara atau bunyi lain terutama sekali penonton.
F.7 Ketika pembacaan puisi itu selesai, berhentilah beberapa saat, melepaskan nafas, lalu

menghormati penonton dan kepada para hakim.
F.8 Biasakanlah dengan sikap yang tenang dan wajar ketika meninggalkan pentas dan tidak

usah tergesa-gesa.
10. Harapan Dan Anjuran
Sesuai dengan pembangunan yang berencana di bidang pendidikan dan pengajaran, maka

pelajaran deklamasi itu mendapat tempat dan sambutan yang baik di kalangan murid-murid

sekolah dan orang awam, guru-guru dan masyarakat Malaysia. Sebab pelajaran deklamasi amat

penting sekali dan tentu saja diharapkan sangat deklamasi terus mendapat perhatian yang

besar.
Murid sekolah sangat-sangat memerlukan bimbingan dan petunjuk dari guru yang berkebolehan,

apa lagi dengan adanya acara hari kemerdekaan, hari guru, hari ibu dan sebagainya dan

dengan bantuan dari mereka yang berkebolehan, maka sudah tentu bidang deklamasi ini akan

lebih hebat lagi dan sekaligus akan dapat membentuk manusia Malaysia yang baik, berjiwa

besar dan punya semangat yang kuat untuk mempertahankan maruah bangsa sejaga
 Sumber: http://clubbing.kapanlagi.com/

Mengolah Pengalaman Sebuah Proses Dalam Menulis Puisi

Oleh Soni Farid Maulana

Dalam tubuhku ini
kunanti hal
yang serba mungkin

MENELUSURI proses kreatif penulisan puisi sama asyiknya dengan menulis puisi itu sendiri.

Setiap penyair jika ditanya soal ini, yakni ditanya soal apa dan bagaimana menulis puisi,

maka ia akan menjawab pertanyaan tersebut dengan cara pandangnya masing-masing, yang khas,

yang satu sama lainnya berbeda. Namun demikian secara esensial jawaban dari pertanyaan

tersebut; pasti mengarah pada inti yang sama, bahwa menulis puisi pada dasarnya merupakan

medan ekspresi dari bayang-bayang pengalaman. Dan apa yang dimaksud dengan bayang-bayang

pengalaman atau mengolah pengalaman sebagai sumber penciptaan puisi itu. meski secara

ringkas sudah diuraikan pada halaman sebelumnya.

Uraian di bawah ini, merupakan satu sisi dari sekian banyak model penulisan puisi, yang

secara teknis bisa dipelajari oleh siapa pun yang berminat menekuni dunia tulis-menulis

puisi. Sedangkan mengenai isi dan kualitas puisi, sekali lagi, semua itu sangat bergantung

kepada intensitas penghayatan sang penyair terhadap berbagai pengalaman hidup yang menarik

perhatiannya. Di samping itu, tentu saja, sangat bergantung pula pada seberapa jauh sang

penyair menguasai bahasa dan kosa kata yang dipakainya sebagai alat untuk berekspresi

maupun berkomunikasi dari apa yang ditulisnya itu.

Berkaitan dengan hal tersebut, sekalipun teknis penulisan puisi bisa dipelajari, nyatanya

menulis puisi tidak gampang. Apa sebab? Pertama si penyair harus peka terhadap keadaan

jiwanya dan perasaannya, termasuk peka terhadap seluruh pengalaman hidupnya, baik yang

bersifat fisik maupun metafisik. Yang dimaksud peka dengan pengalaman yang bersifat fisik

itu, misalnya si fulan dengan tangannya sendiri memangkas setangkai bunga mawar, atau

dengan matanya sendiri melihat secara nyata tukang becak ditabrak mobil, atau ia ditinggal

pergi oleh kekasih tercinta, yang dibawa lari oleh orang lain. Sedangkan yang dimaksud

dengan pengalaman metafisik adalah sebuah pengalaman nonragawi, seperti rindu pada kekasih

yang jauh, berasyik-masyuk dengan diri-Nya, mengalami dicabut maut dalam mimpi, dan

sebagainya.

Untuk itu, mengasah kepekaan terhadap apa yang dialami baik secara fisik maupun metafisik

menjadi penting, karena hal itu akan memperlancar daya kreatif seorang penyair dalam

menulis puisi-puisinya. Di samping itu hal tersebut akan pula menjelma “bank naskah

pengalaman,” yang kelak tiada habisnya digali sebagai sumber penciptaan puisi. Berkaitan

dengan itu jelas sudah, bahwa menulis puisi tidak bisa lahir dari “ruang batin yang

kosong,” dari sesuatu yang tidak dialami baik secara fisik maupun metafisik.

Jika menulis puisi berangkat dari “ruang batin yang kosong,” maka apa yang ditulisnya itu

akan terasa tanpa greget, dan bahkan hampa dari makna. Lain halnya bila apa yang kita

ekspresikan itu bersumber dari pengalaman, maka rasa dari setiap kata yang kita ekspresikan

dalam larik-larik puisi yang kita tulis itu akan hadir dengan sendirinya. Karena itu tak

aneh kalau penyair Sitor Situmorang berkata lebih lanjut, bahwa:

dalam tubuhku ini
kunanti hal
yang serba mungkin.

Hal yang serba mungkin akan hadir dalam puisi yang kita tulis, bila kita mengalami sesuatu

yang menggerakkan daya imajinasi 6 kita untuk berproses kreatif. Di samping itu, selain

peka terhadap hal-hal yang demikian, harus pula peka terhadap rasa kata yang terdapat dalam

bahasa yang kita gunakan sebagai kendaraan utama dalam berproses kreatif menulis puisi.

Jika kita tidak menguasai bahasa dan kosa kata dengan baik, maka sangat mustahil kita akan

bisa mengekspresikan pengalaman tersebut dalam bentuk puisi yang kita tulis.

Peka terhadap pengalaman itu artinya peka terhadap suasana. Bagaimana mungkin kita akan

bisa mengekspresikan suasana di sekitar kita, di hati dan pikiran kita dengan baik, kalau

penguasaan kita terhadap bahasa dan kosa kata tidak pada tempatnya? Hidup dan matinya

sebuah puisi, antara lain terletak pada penguasaan bahasa, kosa kata, dan juga pengalaman

hidup yang dikenali betul oleh sang penyair hingga ke sudut-sudutnya yang paling gelap,

meski benar bahwa ketika seorang penyair menulis puisi, ia tidak harus mengangkat seluruh

sudut pengalaman yang dikenalinya untuk diekspresikan dalam satu lembar kertas. Yang

ditulisnya, pastilah sebuah sudut yang paling menggoda hati dan pikirannya saja.

Lepas dari itu, dari segi isi, unsur-unsur yang terkandung dalam puisi sebagaimana

dikatakan I. A, Richards dalam bukunya yang terkenal itu, The Rose of Poetry 7 terdiri dari

unsur-unsur perasaan (feeling), tema (sense), amanat (intention), dan nada (tone). Tiga

unsur tadi adalah unsur-unsur dalaman (jeroan) puisi. Selain menguasai tiga unsur tersebut,

tentu saja kita harus menguasai bahasa dan kota kata dengan baik. Penguasaan tersebut

menjadi penting diperhatikan karena ia adalah alat untuk mengomunikasikan bayang-bayang

pengalaman yang hendak kita ekspresikan dalam menulis puisi. Di dalam memilih kata-kata

(diksi) yang akan kita tulis itu, kelak kita akan berhadapan dengan kata-kata yang

berirama, yang menghasilkan rima dan ritma. I.A. Richards menyebutnya rhyme and rhytm.

Hadirnya rima dan ritma dalam larik-larik puisi itu antara lain bisa juga dibangun lewat

penggunaan bahasa figuratif (figurative languange) yang salah satu fungsinya antara lain

untuk menegaskan atau mengkonkretkan bayang-bayang pengalaman yang dimaksud -- sehingga si

apresiator bisa menikmati amanat (intention) dan keindahan puisi yang ditulis oleh seorang

penyair. Berkait dengan itu, pentingnya unsur bunyi dalam struktur puisi, karena hal itu

akan turut membangun makna puisi secara keseluruhan. Ini berarti puisi tidak hanya dibangun

oleh serangkai kosa kata dan gramatikal yang melahirkan pesan. Akan tetapi dibangun pula

oleh unsur-unsur estetik bunyi dari rangkaian vokal dan konsonan yang berlagu dan berirama,

yang adakalanya disebut rima dan ritma dalam puisi.

Tadi disebutkan bahwa sumber penciptaan puisi adalah pengalaman yang bermuara pada

kehidupan, baik yang dialami secara konkret (fisik) maupun meta fisik.. Berkaitan dengan

itu, seorang penyair dalam mengasah kepekaannya terhadap pengalaman pribadinya maupun

denyut kehidupan itu sendiri, jangan hanya memperhatikan hal-hal yang besar saja, hal-hal

yang kecil pun, yang dianggap remeh oleh orang lain harus pula diperhatikan.

Apa sebab? Karena di dalam pengalaman yang dikira remeh itu, sering terdapat makna tak

terduga. Misalnya, pada suatu hari kita memperhatikan dengan baik tentang sekuntum mawar

yang dipangkas orang secara paksa dari tangkainya. Apa yang terjadi peristiwa tersebut?

Jelas, mawar yang dipangkas orang dari tangkainya itu akan layu. Demikian pula bila kita

memperhatikan uap es dalam kulkas. Pengalaman tersebut memberikan sebuah gambaran baru yang

bisa dirasakan secara konkret, bahwa tingkat kedinginan antara air di bak mandi dengan uap

es dalam kulkas jelas berbeda.

Uraian di atas yang dipetik dari pengalaman konkret itu, tampaknya memang sepele. Lalu apa

hubungannya dengan penulisan puisi dari dua kejadian yang kita alami secara nyata itu?

Tentu saja ada. Secara tidak langsung bila kita memperhatikan hal yang demikian dengan

cermat, maka hal itu diam-diam menjelma “bank naskah pengalaman” di dalam hati dan pikiran

kita. Jelasnya, hal itu akan sangat berguna bila dalam puisi yang kita tulis harus

menggunakan bahasa figuratif, yang fungsinya antara lain untuk mengkonkretkan pengalaman

yang dirasa abstrak bentuk dan rupanya.

Misalnya, pada suatu hari, kita putus cinta. Kekasih kita dibawa lari oleh orang lain. Kita

ingin puisi yang kita tulis itu mampu menggambarkan rasa murung di dalam hati kita tanpa

sedikitpun menggunakan pilihan kata yang berbunyi murung.. Adakah hal tersebut bisa

dilakukan? Jawabnya tentu saja bisa, yakni dengan menggunakan bahasa figuratif . Tadi

disebutkan bahwa dalam “bank naskah penglaman” yang ada di dalam kepala dan hati kita itu;

kita pernah pada suatu hari mengalami secara kongkret melihat setangkai mawar dipangkas

orang secara paksa dari tangkainya, atau kita pernah melakukan hal itu.

Bagi seorang penyair kreatif, ia tentunya akan memanfaatkan pengalaman tersebut untuk

melukiskan perasaan cintanya yang pahit dan getir itu, setelah ia memahami semuanya dari

sisi mana rasa luka dan rasa yang murung itu akan diekspresikannya dalam bentuk puisi.

Seketika, setelah semuanya jelas, daya imajinasi dalam kepalanya segera bergerak,

menyeleksi sekian diksi yang dikenalnya dengan akrab, dan juga dipahami maknanya secara

jelas.. Dari sekian diksi yang dipilihnya itu, terbentuk larik-larik puisi, seperti ini:


sejak kau pergi dari sisiku, cintaku,
jiwaku seperti setangkai mawar
dipangkas orang dari pangkalnya

Tiga larik puisi tersebut, dengan tegas dan jelas segera menginformasikan sebuah pengalaman

pada kita, yakni informasi tentang perasaan si aku lirik yang murung dan layu ditinggalkan

kekasihnya yang diibaratkan atau diandaikan dengan setangkai mawar yang dipangkas orang

dari pangkalnya. Bukan hanya perasaan murung dan layu yang hadir dalam tiga larik puisi

tersebut, tetapi juga perasaan sakit yang amat sangat, yang mengendap di hati si aku lirik.

Rasa sakit, layu, dan murung itu memang tidak tersurat dalam tiga larik puisi tersebut,

akan tetapi tersirat. Itulah yang dimaksud dengan salah satu bentuk dari bahasa figuratif

dalam puisi, dan ia tidak mesti hadir dalam seluruh puisi yang ditulis oleh seorang

penyair. Pada sisi yang lain, bisa juga berfungsi sebagai penekan suasana, atau sebagai

konkretisasi dari pengalaman yang semula dirasa abstrak itu. Semisal tentang uap es dalam

kulkas itu, dalam sebuah puisi yang lain si fulan menulis seperti ini:

betapa dingin udara lembang
bagai uap es dalam kulkas
dedaunan pun menggigil
bagai daging dan tulang di tubuhku

Apa yang digambarkan dalam empat larik puisi tersebut lebih berfungsi sebagai penekan

suasana. Bahasa dengan demikian, sebagaimana dikatakan oleh Dr. I. Bambang Soegiharto dalam

bukunya8 bukan sekadar teks, struktur dan makna. Bahasa adalah juga pengalaman, pengalaman

yang dihayati. Pengalaman yang dihayatilah yang terungkap dalam bahasa dan yang memberi

kepada bahasa makna-makna eksistensial. Di sini pengalaman bukanlah sesuatu “yang lain,”

yang bersifat metafisis; bukan pula sesuatu yang di luar sehingga bahasa seolah-olah hanya

mengacu kepadanya saja. Bahasa adalah makna dari pengalaman itu sendiri.

Adanya pengalaman di dalam bahasa, dalam hal ini di dalam bahasa figuratif, lebih tegasnya

lagi di dalam puisi, ternyata satu sama lainnya tidak bisa dipisahkan. Ini artinya, sekali

lagi, bahwa menulis puisi tidak bisa dikhayal-khayalkan, sekalipun di dalamnya ada

imajinasi, sebuah dunia yang direka, yang dihadirkan kembali menurut tafsir si penyairnya

seusai membaca pengalaman puitik yang menggelitik hatinya tadi. Tentang digunakannya bahasa

figuratif dalam puisi yang hanya muncul pada bagian-bagian tertentu itu, bisa kita lihat

lebih jelas lagi dalam puisi di bawah ini:

Lagu Siul

Laron pada mati
Terbakar di sumbu lampu
Aku juga menemu
Ajal di cerlang caya matamu
Heran! Ini badan yang selama berjaga
Habis hangus di api matamu
‘Ku layak tidak tahu saja

Dalam puisi tersebut, Chairil mengandaikan si aku lirik sebagai laron, yang kerap memburu

cahaya, dan rela mati terbakar oleh cahaya yang panas itu, entah cahaya lampu patromaks,

neon, maupun cahaya api. Tentu saja, yang dimaksud oleh Chairil dalam puisi tersebut adalah

tentang keadaan si aku lirik yang senantiasa lapar memburu cahaya cinta, dan rela mati

terbakar oleh cahaya cinta yang didapatnya di padang perburuan. Dalam sajak tersebut ada

pengalaman konkret yang dialami Chairil, yakni dirinya melihat proses kematian laron seusai

memburu cahaya yang menyebabkan dirinya terbakar oleh cahaya yang diburunya itu.

Pengalaman fisik tersebut menjadi sebuah pengalaman metafisik, lebih tegasnya menjadi

sebuah pengalaman spiritual yang penuh dengan daya pesona religius, setelah Chairil

mengolah pengalaman tadi lewat larik-larik puisinya yang berbunyi: aku juga menemu ajal/ di

cerlang caya matamu// sebuah ungkapan yang indah, daya imajinasi yang bekerja dalam puisi

tersebut jelas bukan bersumber dari ruang batin yang kosong, tetapi dari sesuatu yang

dialami secara konkret, untuk kemudian direka kembali dalam sebuah pengalaman yang baru.

Puisi lainnya di bawah ini, juga berangkat dari kerja semacam itu:

Angin Malam
- untuk Heni Hendrayani

Angin malam terasa dingin
Hingga ke liang nyawa. Di dinding bayang-bayang
Kau dan aku laik wayang
Dimainkan ki dalang dengan kisah yang kelam

Kita adalah korban sekaligus pelaku
Tapi tak ada gending kemenangan
Atau kekalahan
Dalam ruangan ini, selain keheningan

Menghayati kelahiran
Juga kematian. Lihat di dinding
Bayang-bayang itu saling melebur
Takut dicekik kesepian

1993

Dari dua contoh di atas, jelas sudah apa yang dimaksud dengan bahasa figuratif dalam puisi.

Secara teknis, cara bekerja bahasa tersebut telah diuraikan dengan singkat. Ini artinya

bisa dipelajari. Sedangkan masalah isi dan kualitas garapan bahasa tersebut, sekali lagi

semua itu sangat bergantung kepada tingkat pengalaman dan penghayatan sang penyair terhadap

berbagai pengalaman hidup yang dilakoninya secara sungguh-sungguh.

Berkaitan dengan hal tersebut, tak salah kalau dalam sebuah esainya yang cukup menarik

perhatian saya, penyair Perancis abad 19, Paul Valery antara lain mengatakan, karya-karya

jiwa manusia, sajak atau yang lainnya, hanya dapat dihubungkan dengan “sesuatu yang

melahirkan dirinya sendiri,” dan sama sekali tidak dapat dihubungkan dengan apapun yang

lainnya.11 Puisi di atas yang saya tulis pada tahun 1993 itu, berangkat dari pengalaman

menonton pertunjukan wayang kulit. Pada sebentang layar kain putih saya melihat bayang-

bayang wayang yang diam, bergerak, maupun yang berkelebat. Dalam pertunjukan wayang kulit,

apapun maknanya, selalu ada pertarungan bayang-bayang, antara baik dan buruk, dan

sebagainya..

Pada sisi yang lain menulis puisi bisa pula dilakukan dengan cara yang lain, yakni tidak

menggunakan bahasa figuratif dalam larik-larik puisi yang ditulisnya. Misalnya, pada suatu

hari mungkin kita pernah duduk di sebuah halaman rumah, entah di kursi atau apa saja yang

ada di halaman rumah tersebut. Kita memandang ke arah luar, yang ada di hadapan kita pada

saat itu boleh jadi sebuah taman kecil, ada rumpun bebungaan, ada kupu-kupu dan juga

burung-burung yang beterbangan. Kita terpesona dan bahkan terpana karenanya. Lalu tiba-tiba

hujan jatuh dengan amat derasnya.

Saya yakin saat itu ada sebuah pengalaman yang dengan cepat berubah pula dalam diri kita.

Ingatan kita tentang pengalaman tersebut terus membayang dan kita sukar melupakannya.

Sebagai penyair kita ingin menuliskannya. Nah dalam menuliskan pengalaman yang demikian itu

-- seorang penyair harus peka terhadap apa yang dilihat dan didengarnya. Adanya kepekaan

semacam ini kaitannya kelak berurusan dengan apa yang disebut imaji penglihatan (visual)

dan imaji pendengaran (auditif). Adanya kepekaan terhadap kedua unsur tersebut pada sisi-

sisi tertentu bisa menyebabkan pilihan diksi yang kita pakai dalam penulisan puisi itu jadi

berlagu, menghasilkan rima dan ritme. Inilah, antara lain yang menyebabkan puisi enak

dibaca.

Apa yang dipaparkan di atas tentang pengalaman di halaman rumah itu, adalah apa yang

disebut sebagai bayang-bayang pengalaman yang di dalamnya melibatkan perasaan kita. Ruh

dari puisi adalah rasa (feeling). Sedangkan tema (sense) yang kita hadirkan dari suasana

yang demikian itu boleh jadi berupa kesepian atau kesunyian dan kesendirian. Sedangkan apa

yang dinamakan amanat (intention) tergantung dari sisi mana kita akan mengomunikasikan atau

menafsir pengalaman tersebut. Dan itu tidak usah dipikirkan karena akan lahir dengan

sendirinya, bila kita benar-benar serius dalam mendalami pengalaman tersebut sebagai

pengalaman spiritual.

Tegasnya menulis puisi dalam konteks apa pun pada dasarnya adalah membekukan pengalaman,

untuk kemudian dikomunikasikan kembali dalam bentuk-bentuk pengalaman yang baru setelah

melewati berbagai tahap kontemplasi, meski sesaat. Pengalaman di atas misalnya, melahirkan

larik-larik puisi seperti di bawah ini:

adakah kau dengar guguran daun
saat hujan turun
kupu-kupu terbang entah ke mana
langit pekat dan hitam

atau puisi di bawah ini:

kau dengar getar daun gugur di atas tanah berlumpur
saat hujan turun, saat kupu-kupu terbang entah kemana
saat langit pekat dan hitam, saat rinduku
berdebur dan berdebur selalu menerjang hatimu

Perhatikan puisi yang kedua, di dalam puisi tersebut pada larik pertamanya ada variasi rima

akhir, yang pertama rima ar pada diksi dengar dan getar serta rima ur pada gugur dan

lumpur. Paduan dari variasi rima itu menghasilkan ritma, yakni unsur-unsur bunyi yang

berlagu, yang tentunya enak untuk divokalkan, seperti kau dengar getar daun gugur di atas

tanah berlumpur.
Tentu saja tidak selamanya dan tidak seharusnya pula larik-larik puisi itu ditulis dengan

cara yang demikian, maksudnya pada setiap lariknya rimbun dengan rima dan ritme. Bisa juga

tidak. Yang penting dalam menulis puisi saat ini adalah bagaimana gagasan itu

dikomunikasikan dan diekspresikan dengan baik. Dengan demikian menulis puisi bukan semata-

mata peristiwa bahasa saja, yakni permainan diksi, lambang, simbol, dan sebagainya. Di

dalamnya ada juga seperangkat nilai-nilai yang dipertaruhkan, seperti puisi di bawah ini:

Berjalan di Belakang Jenazah

berjalan di belakang jenazah angin pun reda
jam mengerdip
tak terduga betapa lekas
siang menepi, melapangkan jalan dunia

di samping, pohon demi pohon menundukkan kepala
di atas: matahari kita, matahari itu juga
jam mengambang di antaranya
tak terduga begitu kosong waktu menghisapnya

Sumber pengalaman yang ditulis oleh penyair Sapardi Djoko Damono dalam puisi tersebut,

jelas bermuara pada pengalaman si aku lirik ketika imengantar jenazah seseorang untuk

dikuburkan. Sapardi lewat puisi tersebut berupaya menghadirkan kembali apa yang dialaminya

itu dengan pilihan kata-kata yang begitu personal sifatnya. Ini artinya, ia mampu menemukan

wilayah pengucapannya yang khas, yang berbeda dengan para penyair lainnya, meski dalam

kesempatan yang sama boleh jadi mempunyai pengalaman yang sama pula dalam hal mengantar

jenazah ke tanah kubur.

Dalam titik yang demikianlah Sapardi merekonstruksi kembali berbagai pengalaman spiritual

yang dialaminya ketika dirinya mengantar jenazah saat itu. Ketika pengalaman itu disajikan

dalam puisi yang ditulisnya, pengalaman tersebut terasa segar dalam ingatan kita. Kesegaran

semacam ini hanya akan bisa lahir -- bila kita benar-benar menguasai kosa dan bahasa dengan

baik. Demikian pula puisi di bawah ini:

Dingin Tak Tercatat

Dingin tak tercatat
pada termometer

Kota hanya basah

Angin sepanjang sungai
mengusir, tapi tetap saja

di sana. Seakan-akan

gerimis raib
dan cahaya berenang

mempermainkan warna.

Tuhan, mengapa kita bisa
bahagia?

1971

Latar dari penciptaan puisi tersebut tentunya bersumber pada pengalaman Goenawan mengembara

di negeri orang, khususnya di musim dingin, entah di Eropa atau di Amerika. Pada musim

dingin, kota memang basah, boleh jadi oleh hujan, baik berupa salju maupun air. Tanpa

mengalami hal yang demikian -- sangatlah mustahil Goenawan bisa mengekspresikan pengalaman

batinnya sejernih itu.

Jadi peka terhadap suasana bisa juga diekspresikan dengan model penulisan puisi semacam

itu. Dan dasar dari segala dasar penulisan puisi yang harus dikuasai oleh seorang penyair

adalah peka terhadap suasana, baik yang ada di dalam maupun di luar dirinya. Sebuah

pengalaman yang terus menguntit saya, sepeninggal Nenek saya tercinta, Oneng Rohana

dipanggil Allah SWT pada tahun 1976, adalah semacam ini yang saya tulis dalam sebuah puisi

pada tahun 1977, dengan kalimat-kalimat yang sederhana, seperti di bawah ini:


Tembang

Kau yang hidup dalam ingatanku
adalah tembang yang tak pernah selesai
dilantunkan angin sepanjang waktu

Kau yang memberi arah dalam hidupku
adalah petikan kecapi, alun suling,
lagu yang tak pernah sirna di dalam kalbuku

1977

Oneng Rohana, Nenek tercinta, pada zamannya adalah seorang guru tembang Sunda cianjuran.

Apa yang saya tulis dalam puisi tersebut adalah semacam kenangan terhadap dirinya, yang

hingga kini tidak bisa pupus dalam ingatan saya. Pendeknya, lepas dari semua itu apa pun

bentuknya, pengalaman yang menggoda batin kita itu, yang terus memburu jiwa kita hingga

gelisah karenanya – adalah sumber bagi penulisan puisi. Dengan demikian maka jelas sudah

bahwa menulis puisi bukan semata-mata peristiwa imajinasi belaka, atau sesuatu yang

dibayangkan terjadi. Ia adalah kejadian itu sendiri, yang kemudian kita susun kembali

menjadi sebuah dunia yang baru. Prof. Dr. A. Teeuw menyebutnya sebagai dunia rekaan.

Demikian pula Prof. Dr. Sapardi Djoko Damono mengatakan yang sama.

Bayang-bayang maut yang terus memburu saya, yang tiada hentinya memburu diri saya dalam

situasi yang sunyi dan sepi sepeninggal Nenek saya itu – terus berkelebat dengan berbagai

variasinya yang lain. Ketika saya mendapat kesempatan mengikuti Festival de Winternachten

di Den Haag, Belanda pada tahun 1999 lalu bersama penyair Rendra, Agus R. Sardjono dan

Nenden Lilis A, di sana saya dihadapkan pada sebuah pengalaman yang baru, yang untuk

pertamakalinya bersentuhan dengan salju, dengan dingin udara Eropa, dan juga rasa anggur

(wine) yang harus diteguk secara perlahan-lahan dengan penuh perasaan. Ketika saya

berhadapan dengan udara yang dingin, serta hamparan salju yang memutihkan jalan-jalan,

genting rumah, dan ranting pepohonan yang gugur daun itu, terasa begitu akrab maut menyapa.

Pengalaman semacam itu menyebabkan saya menulis puisi di bawah ini:

Tepi Salju Tepi Waktu

sesenyap batu
di dasar kali yang beku

maut membayang
di hatiku. “Hangatkan

tubuhmu dengan segentong
anggur,” katanya, sebelum

jam kehilangan bunyi
di tepi waktu
di tepi salju


1999
**
APA yang dikemukakan dalam tulisan di atas, diakui atau tidak lebih menekankan jiwa kita

pada suasana-suasana tertentu yang digali dari pengalaman batin sang penyair yang bersumber

pada keindahan sekaligus kemurungan alam dengan segala misteri yang dikandungnya. Untuk

itu, dalam penulisan puisi yang lain tidaklah demikian. Apa yang dinamakan metafor dalam

penulisan puisi kali ini mempunyai peran yang sangat menentukan: akan berhasil tidaknya

sebuah puisi ditulis.

Ketika seorang penyair tengah menggunakan metafor dalam puisi yang ditulisnya, maka ia

tidak sedang mengomunikasikan pengalaman batinnya secara umum, yang tanda-tandanya bisa

dikenali oleh orang lain. Ia justru sedang berekspresi sekaligus berkomunikasi dengan cara

yang tidak lazim. Misalnya, seseorang pada sebuah malam berjalan di sebuah taman dan

kemudian telunjuknya diarahkan kepada seorang perempuan sambil berkata, “itu kupu-kupu

malam,” maka jelas yang dimaksud oleh kata-kata tersebut tidak membuktikan bahwa wanita itu

adalah kupu-kupu sebagaimana yang sering kita lihat di siang hari.

Yang dimaksud dengan kupu-kupu malam di situ, adalah pelacur. Ungkapan ini memang sudah

basi. Meski pun begitu, dalam rangkaian kata tersebut makna tidak nampak pada apa yang

dituliskan, melainkan pada apa yang berada di belakang tulisan.. Nah, di dalam puisi yang

akan kita bicarakan kali ini adalah metafor yang tidak dikenali umum, sesuatu yang khusus,

yang mempribadi, yang hanya terbuka dan mencair maknanya tergantung pada seberapa jauh si

pembacanya bisa menafsir apa yang dibacanya tadi. Misalnya dari sebuah pengalaman yang

sukar dilupakannya, si fulan mengungkapkan pengalaman batinnya dalam sebuah puisi yang

ditulisnya seperti ini:

adakah kau dengar guguran daun hatiku

saat hujan turun,
kupu-kupu terbang entah kemana
langit gelap dan hitam

Sekalipun unsur-unsur yang membangun puisi tersebut hampir sama dengan puisi sebelumnya

yang berbunyi,

adakah kau dengar guguran daun
saat hujan turun
kupu-kupu terbang entah ke mana
langit gelap dan hitam

ternyata secara esensial mengandung makna dan lokasi peristiwa yang berbeda. Puisi kedua,

yang dalam satu lariknya dibangun oleh sepilihan kata yang berbunyi: guguran daun hatiku,

adalah metafor, sekaligus kata kunci yang harus tafsir oleh pembaca puisi tersebut. Puisi

di atast lebih mengungkapkan persoalan-persoalan psikologis, tegasnya lebih mengolah ruang

dalam (rohani) yang hendak dikomunikasikannya pada orang lain.

Dalam menyusun metafor, dalam hal ini, dalam menyusun dua atau tiga suku kata dalam satu

kalimat, seperti guguran daun hatiku, teks dan konteks yang hendak kita ekspresikan itu

harus saling mendukung dan bukannya saling bertolak belakang. Dalam puisi yang demikian

bahasa figuratif kadang hadir pula di dalamnya. Kita perhatikan puisi di bawah ini. Jalinan

metafor yang dirangkainya dalam puisi ini, terasa surealistik, sebuah dunia yang tidak ada

di sini dan bahkan di sana, namun demikian kita berada di dalamnya, di sana dan di sini

sekaligus.


Usia

Sebuah pulau
Memutih di rambut malam
Keajaiban musim tanpa suara
Terpahat di keheningan
Langit tembaga
Keagungan hujan
Dengan sulur-sulur cahayanya
Tersimpan jauh di lautan
Arus besar tanpa riak
Gema tanpa sahutan
Mengendap
Di kedalaman
Waktu

Abad-abad angin
Tahun-tahun kabut
Malam-malam murni
Antara kelahiran
Dan kejatuhan

Kita telanjang
Menghuni pulau karang

2002

Kata-kata aneh apakah yang terdapat dalam puisi tersebut? Tidak ada. Semuanya adalah kata-

kata yang kita kenali dalam kehidupan kita sehari-hari. Semuanya terasa kental, liat, dan

bahkan tidak umum, hal ini disebabkan karena Acep zamzam Noor demikian intens dalam

mengolah ruang dalam batin (rohani)-nya dengan baik. Semua itu bisa dikerjakan dengan penuh

daya pikat karena Acep telah mengerahkan sedemikian rupa daya kepekaannya terhadap denyut

kehidupan yang ada di sekitar dirinya.

Acep Zamzam Noor tidak akan mampu menulis larik Keagungan hujan/ Dengan sulur-sulur

cahayanya, kalau ia dalam kehidupan sehari-hari tidak pernah memperhatikan peristiwa hujan

poyan, yakni matahari tetap bersinar di saat hujan, sebuah peristiwa alam yang sangat

langka.

Saya tidak sedang membicarakan makna dari dua larik puisi tersebut. Saya sedang menelusuri

dari mana datangnya pilihan diksi yang demikian itu, kalau si penyairnya tidak peka

terhadap apa yang terjadi di sekitar dirinya. Pendek kata apapun model dan bentuk

pengucapan sebuah puisi yang ditulis oleh si penyairnya, hal yang utama dari semua itu

adalah adanya kematangan penghayatan terhadap berbagai pengalaman hidup yang ditempuh oleh

Acep Zamzam Noor secara sungguh-sungguh.

Berkait dengan itu, bahasa puisi apa pun bentuknya bersifat plastis, mampu mengakomodasikan

berbagai dimensi makna, baik yang tersirat maupun tersurat. Sejak awal baris-baris puisi

tersebut jalin-menjalin membentuk metafor, seperti pada larik puisi yang berbunyi: Sebuah

pulau/ memutih di rambut malam// yang mengisyaratkan menuanya kehidupan manusia di muka

bumi, yang antara lain ditandai dengan munculnya uban yang serba putih itu. Lepas dari itu,

perhatikan puisi lainnya di bawah ini:

Di Luar Mimpi

Kelak jiwaku yang dalam
Tak punya lagi bayangan jika berjalan
Di bawah matahari atau terang lampu;
Jiwaku adalah sinar itu sendiri

Pada baris dan bait puisi yang kau tulis
Akan kau kenal dengan baik suaraku;
Bagaimana aku menembang juga menimbang
Kesepian, kesunyian, juga kesendirian

Jadi larik-larik hujan yang turun sore hari
Dengan amat lembutnya. Larik-larik itu diam-diam
Menumbuhkan benih kerinduan dalam dadamu

Padaku. Lalu bagai dentang lonceng pagi
Kesepian, kesunyian, dan kesendirian: tanpa ragu
Mengguncang ranjangmu dari balik jendela

1997


Pengalaman psikologis macam apakah yang melatari dua buah puisi di atas ditulis? Secara

tidak langsung dalam dua puisi di atas ada benang merah yang sama, yakni penghayatan atas

kematian, kesepian, kesunyian, dan juga kesendirian. Tentu saja dalam menulis puisi, tidak

hanya tema-tema yang demikian saja yang disajikan oleh penyairnya. Tema yang mencoba

mengungkap dan bahkan membongkar tentang apa yang diduganya sia-sia itu, diungkap dengan

cara yang memikat oleh Goenawan Mohamad dalam puisinya yang cukup terkenal, yang ditulisnya

seperti di bawah ini:

Kwatrin Tentang Sebuah Poci

Pada keramik tanpa nama itu
kulihat kembali wajahmu
Mataku belum tolol ternyata
untuk sesuatu yang tak ada

Apa yang berharga pada tanah liat ini
selain separuh ilusi
sesuatu yang kelak retak
dan kita membikinnya abadi

1973

Apakah keramik yang dimaksud oleh Goenawan itu benar-benar keramik yang biasa kita lihat?

Jawabnya, mungkin ya, dan mungkin tidak. Tetapi yang jelas, puisi tersebut mengandung

banyak makna, dikarenakan jalinan vokal dan konsonan yang disusunnya tidak umum ditulis

orang, demikian juga dengan pertanyaan yang diajukannya. Tanpa ada penghayatan terhadap

keramik, dan sesuatu yang dibentuk dan dikerjakan oleh si senimannya terhadap segumpal

tanah liat yang dijadikan keramik di tangannya, jelas puisi yang demikian tidak akan lahir

dari tangan Goenawan.

Ini artinya, sekali lagi, Goenawan tidak melahirkan puisinya yang demikian itu dari ruang

batin yang kosong. Akan tetapi dalam mengolah daya kreatifnya itu, ia justru berangkat dari

ruang batin yang penuh dengan pengalaman, yang setelah diseleksinya sedemikian rupa

lahirlah puisi tersebut. Contoh-contoh puisi di atas hanya sebagian kecil dari begitu

banyaknya ragam puisi yang ditulis orang yang bercorak demikian. Untuk itu beragam pula

definisi tentangnya. ***

Sumber : www.publiksastra.co.cc